Perdamaian Global Ala Islam

resensi buku, buku, Perdamaian Global Ala Islam, damai islam, pusham uii
Judul:Islam Bisa Kok Mendamaikan Konflik!
Penulis:Tim Pusham UII
Penerbit:PusHAM UII, Yogyakarta
Edisi:I (pertama) 2009
Tebal:xiii + 108 halaman
Dalam setiap sejarah perjalanan umat manusia, seseorang tidak pernah lepas dari suatu permasalahan. Baik permasalahan dalam diri sendiri maupun permasalahan yang berjalin kelindan dengan orang lain atau pemerintahan setempat. Namun, jika ditelusuri dari garis struktural, permasalah-permasalah itu lebih tampak atau meletup dari luar (eksternal) diri setiap orang yang memiliki masalah.

Dalam konteks ini, Karl Marx pernah menengarahi permasalahan masyarakat dengan pendapatnya bahwa dalam setiap masyarakat terdapat dua lapisan kelas yang saling membedakan dan berbenturan, yaitu masyarakat lapisan atas dan lapisan bawah. Meski tampak meng-counter Marx, Ralf Dahrendorf juga mengakuinya dengan menambahkan adanya lapisan menengah yang berada di antara lapisan atas dan bawah sebagaimana pendapat Marx tadi.

Terlepas dari klasifikasi tersebut, menurut buku ini, permasalahan-permasalahan dalam setiap masyarakat lebih dipicu oleh perbedaan perspektif dan persepsi tiap-tiap individu yang bermuara pada ketegangan dan perselisihan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama timbulnya konflik. Kemunculan konflik itu sendiri lebih disebabkan adanya hasrat kompetisi di antara manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam (SDA), merebutkan kekuasaan, dan status.

Tidak jarang dalam memperebutkan nilai, kekuasaan, dan SDA, pelbagai pihak tidak mau mengafirmasi motif dan tujuan kelompok lain. Misal saja, aspirasi penegakkan syariat Islam dan penutupan tempat-tempat maksiat, kerap kali ditentang oleh kelompok lain. Dari sinilah salah satu celah terbukanya pintu yang menampakkan wajah-wajah konflik yang ‘angker’.

Fase Konflik

Konflik dalam setiap bangsa-negara (nation-state), bereskalasi melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan itu, setidaknya, dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap. Pertama, konflik tidak langsung atau laten. Dalam tahapan ini, konflik telah terjadi di antara manusia namun tidak terekspresikan. Selain itu, konflik laten juga bisa terjadi ketika negara mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat atau umat islam. Namun, masyarakat hanya bersikap diam dan tidak melakukan apa-pa.

Kedua, konflik terbuka, yang mana pihak-pihak berkonflik mulai berani mengekspresikan ketidaksetujuannya dan berujung pada perselisihan. Dalam isu RUU Pornografi beberapa waktu yang lalu, misalnya, para aktivis Islam mulai melakukan kampanye dan demonstrasi. Mereka mendukung adanya UU Pornografi yang kemudian ditolak oleh berbagai kalompok lain.

Ketiga, eskalasi dan perebutan kekuasaan. Pada fase ini, tensionalitas konflik mulai meruncing sedangkan pihak yang berselisih mulai menunggang kekuasaan masing-masing yang dilengkapi dengan intrik-intrik politik tertentu. Tentunya hal itu bertujuan saling mengafirmasi kelemahan bahkan mengultimatum pihak lain. Dan keempat, adalah tahapan puncak yang sering menyisakan aksi kekerasan. Pada titik makskimum ini, pihak penentang mulai berfikir bagaimana mengeliminasi pihak yang lain. Selain itu, kekerasan yang muncul tidak lagi berlangsung secara fisik saja, melainkan dengan cara struktural, kultural, dan simbolik. Semisal, dengan melibatkan media massa untuk menanamkan stigma yang buruk kepada lawan-lawanya. Biasanya, salah satu pihak mendapatkan “legitimasi” dari negara untuk mendukung cita-citanya.

Mengatasi Konflik

Beberapa cara dalam menyelesaikan konflik atau sengketa, yang sering kita temukan adalah negosiasi, litigasi, arbitrasi dan mediasi. Dalam negosiasi, para pihak atau wakilnya (negosiator) berusaha melakukan penyelesaian sengketa di antara mereka tanpa melibatkan pihak luar. Bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum formal di pengadilan adalah litigasi. Sedangkan arbitrasi, para pihak yang menginginkan adanya penyelesaian konflik melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang secara aktif terlibat dalam menentukan proses penyelasaian masalah dan kesepakatan akhir. Berbeda dengan arbitrasi, mediasi melibatkan pihak ketiga (mediator) yang dipilih secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak bertanggungjawab untuk secara aktif mencapai kesepakatan dengan difasilitasi oleh mediator.

Jika dibandingkan dengan yang lain, upaya penyelesaian konflik melalui mediasi memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, proses penyelesaian relatif lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mediasi juga banyak dipilih karena tidak jarang menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak tanpa ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’ (hlm.80). Ini berbeda dengan aksi-aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak di Indonesia. Meskipun proses penyampaian aspirasi dalam unjuk rasa itu diwarnai proses perundingan, sering kali mengalpakan mediator. Sehingga, perundingan antara wakil-wakil kedua belah pihak sering menemukan jalan buntu akibat mempertahankan ego, perspektif, dan persepsi masing-masing.

Dalam sejarah Islam, proses penyelesaian konflik dengan metode mediasi, juga pernah terbukti. Tepatnya pada masa renovasi Ka’bah oleh suku Quraisy pasca diserang banjir besar yang turun dari gunung. Dalam proses renovasi itu, muncul sebuah konflik antara ketua-ketua kabilah yang nyaris memakan korban jiwa di antara mereka. Adapun sumber konflik itu hanya memperebutkan kesempatan untuk meletakkan kembali sebuah batu hitam (hajar aswad) pada tempatnya yang telah dibersihkan dan disucikan.

Oleh para kabilah, akhirnya sepakat menunjuk siapapun yang berhasil memasuki pintu shafa pertama kali, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tatkala mereka mengetahui bahwa Muhammad-lah yang berhasil, mereka pun menantikan keputusan yang ditunggu-tunggu itu. Tanpa diduga mereka sebelumnya, Muhammad yang dipercaya sebagai orang yang jujur itu meminta sehelai kain. Di atas kain itu pula, Muhammad mengambil hajar aswad dan diletakkan di atas kain tersebut. Para ketua kabilah pun diundangnya untuk memegang tiap ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama hingga mendekati bibir tempat batu suci itu. Selanjutnya, batu itu diangkat dan diletakkan oleh Muhammad pada tempat semula. Dan, perselisihan yang hampir menjadi sumber perang saudara itu pun terhindarkan karena para ketua kabilah merasa tidak ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’.

Secara umum, buku ini menginspirasikan pembaca untuk menyikapi berbagai macam konflik yang ada, dengan sikap yang dewasa, bijaksana, tanpa merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Baik secara struktural, kultural, maupun simbolik. Minimal, dampak negatif dari adanya konflik perlu diminamalisir sekaligus mengupayakan terjaganya perdamaian dan kenyamanan global. Adapun salah satu inspirasi itu terpancar dari khazanah Islam dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan.[Muhammad Ghannoe]***