Hakikat Cinta

resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta
Judul:Rumah Cinta
Penulis:Mustofa W Hasyim
Penerbit:Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Edisi:Mei 2008
Tebal:263 halaman


Novel “Rumah Cinta” ini berkisah tentang universalitas cinta. Cinta tidak lagi bermakna seutas tali kasih yang mengikat antara dua individu yang berbeda. Melainkan tali kasih yang mampu memantik spirit kemanusiaan guna menuai kesuksesan bersama. Manusia belum bisa dikatakan sukses secara sempurna sebelum ada orang lain yang mampu mengikuti kesuksesannya dan atau melampauinya. Sehingga, dari spirit mengajak dan atau mendukung orang lain untuk sukses inilah yang kelak akan menemukan suatu pencerahan yang bernilai lebih (plus) secara global.

Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, merupakan setting tempat dan suasana yang dijadikan penulis dalam membentangkan ceritanya. Sedangkan, sebelum dan sesudah tanggal 27 Mei 2006, merupakan waktu yang dijadikan Mustofa sebagai ladang spiritual. “Di atas” inilah cerita akan tumbuh dan berkembang memancarkan aura penyemangat bagi pembaca. Terlebih, bagi pembaca yang pernah bersinggungan dengan latar ini akan terbuai dengan aura yang tumpang tindih antara keindahan, kebudayaan, dan pendidikan. Bukan hanya itu, antara jeritan, tangisan, penyesalan, umpatan, senyuman, dan ucapan ikrar akan datang bergulung-gulung dalam bentuk kenangan yang syahdu ketika pembaca ingat peristiwa gempa bumi berkekuatan 5,6 skala richter.

Menurut Mustofa, 27 Mei telah terlampaui. Namun, bukan berarti peristiwa tragis yang menelan banyak korban itu patut untuk dibiarkan menguap dari ingatan kita begitu saja, terutama masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng).

Di kisahkan, beberapa hari sebelum peristiwa gempa bumi, seorang kakek penjual pot (vas bunga dari tanah liat) menjajakan dagangannya di Kota Yogya. Dengan telapak kaki tuanya, penjual pot itu menyusuri lorong-lorong jalan di perkotaan dengan sejumlah pot yang bergelantungan karena terikat pikulan di pundaknya. Meskipun fisiknya telah “tergerogoti usia”, kekuatan penjual pot masih tampak jelas saat mengangkat pot dengan berbagai ukuran yang goyang ke kanan dan ke kiri.

Etos kerja yang begitu dahsyat, menjadikan masyarakat yang ditawari dan dilaluinya terkagum-kagum. Meski demikian, rasa kagum itu tak mampu membendung rasa kasihan dan kaget ketika mengetahui sisi lain penjual pot. Sebenarnya, lelaki tua itu memiliki sejumlah anak dan

" novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan "

cucu yang sudah dewasa, berumah tangga dan kecukupan. Anehnya, penjual pot tidak ingin berhenti dari profesinya yang telah dijalani sejak muda. Ia lebih rela di goblok-goblokkan orang-orang di belakangnya dan berkeras kepala dari pada meninggalkan pekerjaan yang didapatkannya dari para leluhurnya secara turun-temurun.

Dalam perjalanannya menjajakan pot, penjual itu menghabiskan waktu-waktu senggang imajinasinya untuk mengenang masa-masa muda saat berjualan. Saat ada pembeli -seorang ibu muda- yang telah berlalu dan meninggalkan uang di telapak tangan penjual pot, sontak mengagetkan dirinya. Penjual pot ingat bahwa ia pernah tergoda dengan rayuan seorang ibu muda nan cantik.

Jenazah

27 Mei 2006, gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan Jateng. Korban jiwa dan bangunan menandai suramnya peristiwa masa itu. Tak disangka. Di tengah gempa yang susul-menyusul, seorang laki-laki yang sehari-harinya bekerja sebagai pemandi jenazah di salah satu rumah sakit di kota, tersesat di desa asal penjual pot. Ketersesatan itu bermula saat ia hendak berkunjung ke tempat orang tuanya yang menjalani kehidupan di desa.

Yang mengharukan, pemandi jenazah itu justru menggagalkan niatnya untuk menjenguk orang tuanya. Ia lebih memilih menolong kakek penjual pot yang sedang terpisah dengan istri tercintanya saat berlari menyelamatkan diri. Sang kakek pun diantar pulang dan mencari istrinya yang dikabarkan dibawa relawan ke rumah sakit. Sesampai di sana, pemandi jenazah masih melanjutkan misi kasih sayangnya terhadap sesama manusia.

Ia mendaftar menjadi relawan pencatat dan pemandi korban gempa di rumah sakit itu. Bukan hanya itu, bagi korban gempa yang membutuhkan informasi dan pertolongan lainnya, dengan enteng, pemandi jenazah membantu mereka. Padahal, anak dan istrinya di Yogyakarta sempat mengalami ketakutan saat ada gempa.

Dengan kata-kata mutiara yang sering diselipkan penulis melalui tokoh-tokohnya, novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan. Meski demikian, alur cerita dan kehadiran tokoh yang samar-samar kedatangannya, menimbulkan kendala tersendiri bagi pembaca.

Muhammad Ghannoe, Aktif di Scriptorium Lintang Sastra Yogyakarta



Sumber : Suara Pembaruan, 6 Juli 2008 - Halaman 7

read more >>