Ketika Jawa Terendam Darah

resensi buku, buku, Ken Dedes, Tunggul Ametung, Ken Arok, Brahmana Gajah Para, Ken Ndok=
Judul:Konflik Berdarah di Tanah Jawa
Penulis:Raka Revolta
Penerbit:Bio Pustaka
Edisi:2009
Tebal:viii + 152 halaman

Tanyakan pada Ken Dedes, siapakah pembunuh akuwu Tunggul Ametung? Jawabnya: Ken Arok! Anak hasil hubungan gelap Brahmana Gajah Para dengan Ken Ndok itulah yang menjadikan Anusapati yatim sejak dalam kandungan (hlm.5).

Kisah perjalanan Ken Arok, merupakan cerita “anak kuburan” yang berambisi pada harta, tahta (kekuasaan) dan wanita. Untuk memuja ambisinya, anak yang dipungut Lembong -pencuri yang kecolongan harta, itu semula tidak pernah hengkang dari judi, tidak segan membunuh, menipu, dan menjarah keperawanan serta istri orang. Janggan dan Ken Dedes, merupakan contoh perempuan yang menjadi korban nafsu seks Ken Arok.

Dari kisah Ken Arok ini, Raka Revolta mulai menelusuri jejak-jejak tragedi berdarah lainnya di tanah Jawadwipa. Konflik berdarah yang hadir dari jiwa-jiwa pemberontak sejak Raja Tumapel yang bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi itu dibeberkan Raka hingga pemberontakan Pangeran Diponegoro. Di atas tanah Jawa inilah darah-darah mereka muncrat, berceceran, membeku, lantas mencipta kekuasaan yang tak pernah abadi.

Ken Arok adalah seorang anak yang semasa banyi dibuang oleh orang tuanya di sebuah pemakaman (kuburan) yang sepi dari manusia. Ketika seorang pencuri, Lembong, melintasi makam itu merasa kaget dan kasihan terhadap bayi tersebut. Lembong pun memungut bayi itu dan diasuhnya hingga masa menginjak remaja. Sayang, akhirnya Lembong kecewa terhadap Ken Arok kecil yang mulai gemar berjudi. Karena terlalu lelah mengingatkan dan hartanya habis dijadikan taruhan Ken Arok, Lembong hanya putus asa dan mengusirnya. Ken Arok pun menggelandang hingga dijadikan anak angkat seorang bandar judi, Bango Samparan. Namun, meski kebutuhannya tercukupi, Ken Arok merasa tidak betah hidup bersama saudara-saudara dan ibu angkatnya.

Tanpa persetujuan Bango Samparan, Ken Arok pergi dari rumah dan bersahabat dengan Tita, anak Kades Siganggeng. Sejak menjalin persahabatan, Ken Arok mulai diajak belajar membaca dan menulis Tita di rumah Janggan. Sayang, kejadian naas menimpa Janggan: Ken Arok menjarah keperawanannya di suatu malam. Merasa tidak rela ditinggalkan Ken Arok akibat terusir dari rumah Janggan, Tita menyusul dan mengajaknya membuka perdukuhan di sebelah timur Siganggen. Bersama Tita, kenakalan Ken Arok justru semakin menjadi-jadi. Keduanya mulai berani merampok para pedagang yang melintasi jalan di dukuh tersebut dan tak jarang Ken Arok mengganggu perawan-perawan desa.

Meski kelakuannya dikecam pemerintah setempat, Ken Arok justu balik mendapat keberuntungan. Ia bertemu dan dilindungi Sang Brahmana dari India, Loh Gawe. Dari peristiwa ini, Akuwu (Camat) Tumapel Tunggul Ametung menggalkan rencananya untuk menangkap dan mengadili Ken Arok. Justru, Tunggul balik mengangkat Ken Arok menjadi pengawalnya.

Ironisnya, kebaikan hati Tunggul Ametung berbuntut pembunuhan terhadap dirinya. Dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok menikam Tunggul Ametung hingga wafat. Selanjutnya, janda Tunggul Ametung, Ken Dedes, diperistri Ken Arok sekaligus menobatkan dirinya sebagai Akuwu Tumapel.

Bencana pun berlanjut. Dibawah kendali Ken Arok, Tumapel menyatakan merdeka dari kekuasaan Kediri. Bersama prajurit Kerajaan Tumapel, Ken Arok menyerang Kerajaan Kediri dibawah raja Kertajaya. Dalam pertempuran, pasukan Kediri kalah dan Kertajaya tewas. Akhirnya, Kerajaan Kediri berbalik tunduk dalam berbagai perintah kerajaan Tumapel.

Kesuksesan Ken Arok dalam mewujudkan ambisinya, ternyata berbuntut pada ambisi putera Tunggul Ametung, Anusapati, untuk membalas dendam dan merebut tahta kepemimpinan di Tumapel. Gayung pun bersambut, Anusapati behasil memperoleh keris Mpu Gandring yang pernah digunakan Ken Arok. Dengan keris itu Anusapati melakukan siasat-siasat jitu yang akhirnya berhasil merenggut nyawa Ken Arok. Pasca peristwa ini, putera Ken Arok yang bernama Tohjaya juga berambisi tidak jauh berbeda dengan Anusapati. Dengan keris Mpu Gandring yang berhasil ditemukannya, Tohjaya memperdaya dan menjebak Anusapati dalam keadaan yang melenakan. Sehingga, tanpa disadari sebelumnya, Anusapati terpaksa menghembuskan nafas terakhirnya ketika ditusuk oleh Tohjaya dengan keris Mpu Gandring pula.

Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Tumapel (Singasari) pun menyisakan dendam kesumat di antara keturunan Ken Arok, Tunggul Ametung, Kertajasa (Raja Kediri yang dikalahkan Ken Arok). Mereka saling beradu strategi dan intrik-intrik politik lainnya, atas nama membalas dendam, perebutan kekuasaan, harta, dan perempuan. Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, kematian-kematian mulai susul-menyusul, baik raja, pemerintah, maupun rakyat kecil yang tidak mengerti akar permasalahan yang terjadi.

Dendam kesumat yang tersulut sejak kematian Tunggul Amtung tersebut tidak hanya berhenti dimasa kejayaan Singasari. Koflik berdarah selalu muncul hingga zaman Jawa Islam dan melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah (keturunan) dengan Ken Arok atau Tunggul Ametung. Selain itu, konflik yang menyisakan catatan kematian demi kematian itu menjalar hingga ke Makassar. Di atas tanah itulah Pangeran Diponegoro bersama keluarga dan pengikutnya dibuang oleh Belanda sebagai hukuman terhadap mereka yang memberontak. Sungguh menyedihkan.

Mungkinkah kisah sedih itu akan berlanjut di negara ini? Dapatkan pemilihan umum tahun ini bisa aman tanpa korban?. [Sungatno/CABC]***

read more >>

Lebih Baik Indonesia Tenggelam

resensi buku, buku, Mohammad Hatta, biografi, sejarah
Judul:Mohammad Hatta; Biografi Singkat 1902-1980
Penulis:Salman Alfarisi
Penerbit:Garasi (Kelompok Penerbit Arruz), Yogyakarta
Edisi:I (Pertama) 2009
Tebal:242 halaman
"…..Bagi Pemoeda Indonesia, Ia lebih soeka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laoetan daripada mempoejaija sebagai d jadjahan orang kembali…"

Demikian kutipan pidato Bung Hatta di sebuah rapat umum di Lapangan Ikada Jakarta pada 8 Desember 1942. Waktu itu, Bung Hatta bersama Bung Sjahrir baru saja terbebas dari pencekalan Pemerintah Hindia Belanda yang kesekian kali. Dan, situasi keamanan internasional masih panas akibat meletusnya Perang Asia Timur Raya setahun sebelumnya.

Pasca pidato ‘garang’ itu, Bung Hatta menjadi buah bibir di kalangan pemoeda-pemoeda pada zamannya. Sengatannya mampu melepuhkan spirit mereka untuk tetap diakui sebagai pemoeda sejati Indonesia. Bukan pemoeda Indonesia jika lebih suka melihat Indonesia terjajah bangsa-bangsa serakah dan tak berperikemanusiaan. Lebih baik Indonesia tiada daripada terjajah untuk kesekian kalinya.

Buku ini, bukanlah tulisan Bung Hatta untuk mengenang perjalanan dan perjuangannya sendiri. Melainkan tulisan Salman Alfarisi yang mengajak bangsa ini untuk mengenang kehidupan dan perjuangan Proklamator RI itu. Terutama, ketika bangsa ini melakukan peringatan wafatnya Bung Hatta pada 14 Maret kemarin. Menurut penulis, Bung Hatta merupakan sosok founding father yang spirit perjuangannya terhadap bangsa ini perlu untuk kita renungkan kembali. Terlebih dalam menyikapi keadaan negeri yang masih “terjajah” ini. Sebab, hingga kini bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan harapan founding fathers secara sempurna. Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.

Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.

Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.

Pendidikan Hatta di mulai dari Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatta mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.

Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.

Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School, Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.

Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.

Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.

Pendidikan Hatta di mulai dari Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatat mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.

Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.

Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School atau Prins Hendrik School (Sekolah Menengah Dagang) di Batavia (Jakarta) dan tamat pada tahun 1921. Selama sekolah, Hatta muda mulai belajar mengarang dan menawarkan ke pada media massa waktu itu. “Namaku Hidania!, merupakan tulisan pertamanya yang di tayangkan majalah Jong Sumatera.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Dagang, Hatta melanjutkan pendidikannya di Netherland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda. Semasa di Negeri Kincir Angin ini, ia mulai mengenal lebih jauh pemikiran tokoh-tokoh dunia, semisal tokoh-tokoh pembaharu dan sosialis. Di negeri ini pula, jiwa nasionalisme-nya terhadap Indonesia mulai semakin mantap. Dengan bergabung organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), Hatta mulai berani menentang keberadaan kaum penjajah di nusantara. Akibatnya, Hatta sempat ditangkap dan diadili pemerintah Belanda karena dituduh melakukan aksi subversif. Meski demikian, pada 22 Maret 1928, ia terbebas dari segala tuduhan dan keluar dari penjara. Pada 5 Juli 1932, Hatta lulus dari Netherland Handelshogeschool, lantas pulang ke Tanah Air.

Sejak kepulangannya, Hatta mulai dihadapkan dengan realitas penjajahan yang terjadi di negeri ini. Melalui kaderisasi dan pendidikan ditengah kalangan pemuda serta berbagai organisasi, Hatta melancarkan aksi penentangan terhadap penjajah. Termasuk Jepang yang mengambil alih penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda sejak tahun 1942.

Dengan keaktifannya di berbagai organisasi dan menyalurkan gagasan-gagasannya di media massa, Hatta mulai dikenal luas bangsa ini. Bersama Soekarno, Hatta di tunjuk teman-teman mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehari setelahnya, ia diangkat secara aklamasi sebagai wakil presiden pertama RI. Sehingga, tantangan untuk berjuang demi rakyat semakin berat. Meski begitu, Hatta tetap bertahan dan menjunjung tinggi amanah yang telah diembannya.

Dua tahun kemudian, Soekarno menemui dan melamar Siti Rahmiati Rachim untuk Hatta. Perempuan asal Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat itu pun dinikahi Hatta pada tanggal 18 November 1945. Sayangnya, pada 1 Desember 1956, Hatta terpaksa mengundurkan diri dari jabatan yang diembannya. Hatta merasa tidak sejalan lagi dengan Soekarno dalam memimpin bangsa Indonesia. Meski demikian, hubungan persahabatan keduanya tampak baik-baik saja dan tidak ada permusuhan yang berarti diantara kedua. Hingga Soekarno wafat, Hatta masih tetap bersahabat. Hingga Hatta Wafat, Soekarno tidak pernah dihujat.

Kehadiran buku ini terasa tepat ketika bangsa ini melakukan refleksi terhadap pemikiran dan kehidupan Bung Hatta yang kewafatannya diperingati pada 14 Maret 2009 kemarin. Meski kurang lengkap, buku ini cukup jelas dalam menggambarkan perjuangan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta. Kebesaran nama dan gagasan-gagasan Bung Hatta mengingatkan pembaca untuk melanjutkan perjuangan itu.

Perjuangan tidak boleh selesai selagi kita tidak menginginkan Indonesia tenggelam diantara hiruk pikuk kemajuan zaman. [Sungatno/CABC]***

read more >>

Antologi Resensi Buku Sastra

resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta
Judul:Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut di Baca Sebelum di Kuburkan
Penulis:An. Ismanto dkk.
Penerbit:I:Boekoe, Yogyakarta
Edisi:1, 2009
Tebal:1000 halaman

Di antara buku-buku yang berjejer di rak sebuah Toko Buku di Yogyakarta, saya pernah tertarik pada sebuah buku dan langsung membelinya. Selain penulisnya terasa tidak asing bagi saya, judul buku dan catatan dalam endorsment-nya cukup memikat. Terlebih, ketika pihak toko tidak –atau mungkin lupa- menyediakan contoh buku itu yang bebas dari penjara plastik srink (plastik putih-bening).Sayangnya, setelah melihat-lihat isi yang ditawarkan penulis, minat untuk segera menenggak gagasan-gagasan yang ada tiba-tiba surut.

Tulisan-tulisan dalam buku itu pernah saya nikmati dari beberapa koran sebelum buku itu terbit. Di dalamnya, hanya kumpulan tulisan-tulisan penulis yang pernah dipublikasikan koran dan beberapa makalah yang pernah disampaikan dalam diskusi. “Kok, ngga’ sekalian resensi-resensinya hya..???”, gumamku tanpa berfikir panjang. Waktu itu saya langsung ingat dengan resensi-resensi penulis terhadap buku yang telah banyak dipublikasikan koran dan majalah.

Kodifikasi tulisan-tulisan yang ‘tercecer’ menjadi buku memang memiliki nilai plus. Selain turut memeriahkan dunia literatur, nilai ekonomis pun segera bersanding ketika diterbitkan sekaligus dijual. Apalagi, ketika penerbitan karya-karya itu diberi embel-embel tulisan terbaik atau mendapat anugerah dari sebuah institusi atau komunitas tertentu yang memiliki daya tawar tinggi. Image penulispun segera terdongkrak seiring kesuksesan marketing dan informasi buku. Namun, proses pemasaran buku-buku semacam itu, akan terganjal ketika bertemu dengan pembaca yang tidak memiliki selera untuk mengulang-ulang bacaan yang ajek. Kecuali, bagi mereka yang lunglai dalam strategi pemasaran buku.

Layaknya para peninjau buku, para penulis tak ubahnya para peresensi (reviewers) buku diberbagai koran, majalah, maupun media massa lainnya. Hanya saja, ada perbedaan antara peresensi di media-media itu dengan peresensi yang ada dalam buku ini. Tentunya, para peresensi di media massa tidak lepas dari aturan-aturan yang mengikat dan menyesuaikan karakter media dan segmen pembacanya. Hal ini tidak lepas dari maujudnya media massa yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan atau kekuasaan.

" Dari sinilah terkadang muncul permasalahan yang berpotensi “menyimpang” dengan apa yang digagas penulis buku; melebihi atau mengurangi. "

Dalam konteks ini, terasa lumrah ketika ada lebih dari satu media menayangkan resensi buku yang sama namun dengan analisis dan kualitas peninjauan yang berbeda. Termasuk teknik penyampaian, gaya, dan pilihan kata yang digunakan sang peresensi dalam menyajikan apresiasinya terhadap suatu buku.


Kasus semacam ini juga sering muncul ketika terjadi ketidakseimbangan dalam mengapresiasi antara esensi yang terkandung dalam sang karya dengan teknik penulisannya. Begitu juga dengan luas atau piciknya sudut pandang yang digunakan peresensi akan berpengaruh dalam mengapresiasi. Jika kurang memahami isi dan konteks buku, sebuah buku akan mudah tervonis baik atau jelek, bersahabat atau berbahaya, dan gagal atau sukses dalam mencetuskan ide. Padahal, subjektifitas peresensi tersebut akan berpengaruh pada persepsi calon pembaca terhadap objektifitas sang karya. Sehingga, terasa maklum ketika fakta lapangan menjawab bahwa ada sejumlah buku yang dielu-elukan publik dan ada juga yang dibakar di depan umum sebagai reaksi yang tertumpah dengan cara berbeda.

Fakta-fakta semacam ini juga terjadi dalam perjalanan buku-buku sastra di Indonesia. Mulai ada yang ditarik dari peredaran, dilarang untuk diterbitkan, dipaksa untuk ganti cover, dicemooh habis-habisan secara “tidak sehat” oleh penulis lain atau publik, dibakar terang-terangan dengan motif pelecehan dan kasus-kasus yang lainnya. Reaksi-reaksi itu pun tidak jarang menyeret penulis buku untuk sekedar beradu fisik atau kekuatan hukum demi mempertahankan –memimjam istilah Pram- anak-anak ruhani mereka.


Dalam buku inilah, buku-buku sastra Indonesia itu dibingkai dan diulas para penulis dalam satu liang yang sama. Baik yang memiliki masa lalu dipuja-puja atau diinjak-injak, buku-buku itu memiliki nilai-nilai mulia yang patut untuk dikaji dan memiliki pengaruh terhadap cara kita nantinya dalam meneropong karya sastra bangsa ini ke depan. Namun, sebagaimana para penulis pada umumnya, para penulis dan editor buku ini juga memiliki persepsi yang subjektif, meskipun juga menggunakan pijakan-pijakan tertentu. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, subjektifitas mereka akan bersimpangan dengan persepsi pembaca. Untuk itu, tidak ada gunanya jika masalah relativitas dalam penilaian buku-buku itu menghalangi sampainya isi buku ini di ranah pengetahuan sastra pembaca.

Meski begitu, buku yang memiliki 1000 halaman ini tidak memiliki kesamaan seratus persen dengan fenomena di atas. Meski tampak mengulang tema pembahasan masa lalu, pembahasannya tidak serta merta mengambil alih kajian yang pernah terpublikasikan baik dalam media massa maupun buku. Walaupun masih ada yang menggunakan pisau analisis yang ‘sama’, dalam menyajikannya tampak memberi corak dan kesan yang cukup berbeda. Semisal, menggunakan pendekatan filsafat bahasa, konteks zaman, dan psikologi penulis.

Selain itu, jika dulu buku-buku itu dibedah dengan berkutat pada –meminjam istilah Goenawan Mohammad- sang karya atau sang penulisnya, dalam buku ini tampak lebih luas. Mulai dari sang karya, sang penulis, sang pembaca, hingga situasi zaman pada masa terbitnya sebuah buku. Begitu juga dengan efek yang ditimbulkan sang karya. Mulai dari jagat sastra Indonesia sendiri hingga publik secara umum, tidak luput dari sentuhan para penulis.


MG. SungatnoKetua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta

Sumber : Batam Pos Edisi Minggu, 14 Juni 2009

read more >>