Menyoal Kualitas Kesaksian Perempuan

resensi buku, buku, gender, perempuan, Lia Aliyah al Himmah
Judul:Kesaksian Perempuan; Benarkah Separuh Laki-laki?
Penulis:Lia Aliyah al Himmah
Penerbit:Rahima, Jakarta
Edisi:I (Pertama) 2008
Tebal:52 halaman

Berdasarkan Q.S. Al Baqarah ayat 282, banyak yang memahami bahwa kesaksian perempuan bisa dikatakan "sah", jika digabung dengan kesaksian –minimal- seorang laki-laki. Kesaksian perempuan itu pun, belum bisa dikatakan sah, jika tidak dikuatkan dengan kesaksian –minimal- seorang perempuan lagi.

Selanjutnya, diantara para ulama dan pengkaji ilmu fiqh (fikih), berdasarkan al Baqarah ayat 282 itu, timbul perdebatan panjang yang hingga kini terasa belum usai. Meski demikian, sedikitnya ada dua pandangan terkait perempuan dan kesaksian. Pertama, perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk menjadi saksi. Baik dalam pernikahan, perceraian, dan hudud (masalah pidana). Kedua, meskipun dibolehkan memberikan kesaksian, nilai kesaksian perempuan dihargai separoh dari kesaksian laki-laki. Dua saksi perempuan, sama dengan satu saksi laki-laki.

Dari sini, tampak bahwa diantara kaum laki-laki dan perempuan masih ada sekat-sekat kuat yang membedakan diantara keduanya. Padahal, secara konseptual, berdasarkan al Qur'an dan Al Hadits, keberadaan kedua makhluk ini sejatinya tidak ada perbedaan dihadapan Allah SWT. Hanya kualitas ketaqwaan keduanya saja yang membedakan keduanya dihadapan Tuhan yang maha adil itu. Selain itu, menurut Lia Aliyah Al Himmah, pemahaman seperti diatas, menyisakan kepiluan tersendiri bagi kaum perempuan. Dan, bisa berkembang atau dikembangkan menjadi pandangan yang inferior, diskriminatif, dan misoginis bahwa seolah-olah perempuan adalah setengah manusia berjenis laki-laki, posisi dan kualitas perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki dan perempuan kurang dipercaya secara penuh dalam urusan apapun. Kerenanya kesaksian perempuan dihargai separuh laki-laki.

Keadaan Perempuan

Pada masa ayat 282 dari Al Baqarah itu turun, kondisi perempuan memang sangat memprihatinkan. Ditengah kuatnya budaya yang mengandalkan kekuatan laki-laki, mayoritas kaum perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan hanya bisa berperan dalam urusan domestik, tidak ada yang menjadi pemimpin publik, setiap keluar rumah harus didampingi mahramnya, tidak berpendidikan sebaik laki-laki, dan lainnya.

Dalam kondisi demikian, perempuan menjadi korban dalam sistem sosial yang secara jelas menjadikan mereka terbelenggu. Sehingga transformasi ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan menjadi terbatas dan kesempatan bergaul dengan dunia publik pun lebih sedikit dari pada laki-laki. Tak pelak, perempuan menjadi sangat inferior, tidak begitu diperhitungkan, dan semua statemen-statemen serta pengakuannya di nilai kurang berkualitas.

Melihat realitas latar belakang yang demikian, kesaksian perempuan yang perlu didampingi dengan perempuan lain lantas ditambah dengan kesaksian laki-laki, memang cukup rasional. Daya ilmu pengetahuan dan daya ingat mereka yang tidak diasah melalui dunia pendidikan menjadikan mereka kalah bersaing dengan laki-laki. Keunggulan laki-laki saat itu lah yang kemudian dijadikan bahan argumentasi para ulama' dalam banyak literatur tentang dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki. Selain itu, menurut syaikh Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani dalam Fath al Qarib, daya ingat perempuan dinilai lemah dan sering lupa. Argumentasi ini berdasarkan petikan ayat 282 surat Al Baqarah yang berbunyi "an tadhilla ihdahuma fa tudzakkira ihdahuma al-ukhra" (supaya jika seorang saksi [perempuan] lupa, maka seorang lagi [perempuan yang lain] mengingatkannya).

Begitu juga dengan argumentasi madzab Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka beralasan bahwa dalam diri perempuan lebih dominan sifat lemah lembut, terbatasnya ingatan, dan ketiadaan kekuasaan perempuan atas "sesuatu". Tidak jauh berbeda, Jalal al Din Muhammad ibn Ahmad al Mahalli dan Jalal al Din Abdu al Rahman ibn Abi Bakr al Suyuthi beralasan seperti yang tertulis dalam Tafsir al Jalalain. Menurut keduanya, perempuan tidak memiliki kemampuan dalam memerintah dan tidak diakui dalam kasus-kasus kriminal.

Bertolak dengan realitas latar belakang perempuan masa lalu, kini banyak perempuan yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan bahkan tak jarang menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Sehingga, ketetapan yang berdasarkan argumentasi seperti diatas perlu dikaji ulang. Sudah tidak selayaknya lagi ketetapan itu menyisakan pembedaan kiprah antara perempuan dan laki-laki. Dan, setidaknya, kesempatan bagi perempuan untuk menjadi saksi dalam pernikahan, perceraian, dan hudud, perlu didiskusikan lebih lanjut. Tentunya, terkait dengan keadaan perempuan yang kini telah menapaki perbedaan dari pada belasan abad yang lalu. Begitu juga dengan nilai kesaksian perempuan yang hingga kini masih banyak yang menghargai separoh dari kesaksian laki-laki.

Memang, melihat realitas yang terjadi di republik ini, secara formal dalam kasus-kasus tertentu ada yang telah menerima kesaksian perempuan. Semisal, kasus pelecehan seksual yang pernah dilakukan beberapa anggota militer pada perempuan-perempuan dia Aceh. Pasca peristiwa ironis itu, pengakuan dan kesaksian beberapa korban dapat diterima oleh pihak berwenang. Namun, berbeda ketika "transaksi" ijab qobul dalam pernikahan berprosedur Islam, di negara ini masih saja memilih pihak laki-laki dari pada pererempuan.

Perempuan juga manusia layaknya seorang laki-laki. Di dunia ini, keduanya ditakdirkan untuk bermitra dalam meniti ridla-Nya. Dan, berlomba-lomba dalam mencari kebaikan -seperti yang diperintahkan Al Qur'an, bukan hanya diperuntukkan kaum Adam. Kaum Hawa juga manusia yang berkesempatan.[Muhammad Ghannoe]***

read more >>

Perdamaian Global Ala Islam

resensi buku, buku, Perdamaian Global Ala Islam, damai islam, pusham uii
Judul:Islam Bisa Kok Mendamaikan Konflik!
Penulis:Tim Pusham UII
Penerbit:PusHAM UII, Yogyakarta
Edisi:I (pertama) 2009
Tebal:xiii + 108 halaman
Dalam setiap sejarah perjalanan umat manusia, seseorang tidak pernah lepas dari suatu permasalahan. Baik permasalahan dalam diri sendiri maupun permasalahan yang berjalin kelindan dengan orang lain atau pemerintahan setempat. Namun, jika ditelusuri dari garis struktural, permasalah-permasalah itu lebih tampak atau meletup dari luar (eksternal) diri setiap orang yang memiliki masalah.

Dalam konteks ini, Karl Marx pernah menengarahi permasalahan masyarakat dengan pendapatnya bahwa dalam setiap masyarakat terdapat dua lapisan kelas yang saling membedakan dan berbenturan, yaitu masyarakat lapisan atas dan lapisan bawah. Meski tampak meng-counter Marx, Ralf Dahrendorf juga mengakuinya dengan menambahkan adanya lapisan menengah yang berada di antara lapisan atas dan bawah sebagaimana pendapat Marx tadi.

Terlepas dari klasifikasi tersebut, menurut buku ini, permasalahan-permasalahan dalam setiap masyarakat lebih dipicu oleh perbedaan perspektif dan persepsi tiap-tiap individu yang bermuara pada ketegangan dan perselisihan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama timbulnya konflik. Kemunculan konflik itu sendiri lebih disebabkan adanya hasrat kompetisi di antara manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam (SDA), merebutkan kekuasaan, dan status.

Tidak jarang dalam memperebutkan nilai, kekuasaan, dan SDA, pelbagai pihak tidak mau mengafirmasi motif dan tujuan kelompok lain. Misal saja, aspirasi penegakkan syariat Islam dan penutupan tempat-tempat maksiat, kerap kali ditentang oleh kelompok lain. Dari sinilah salah satu celah terbukanya pintu yang menampakkan wajah-wajah konflik yang ‘angker’.

Fase Konflik

Konflik dalam setiap bangsa-negara (nation-state), bereskalasi melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan itu, setidaknya, dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap. Pertama, konflik tidak langsung atau laten. Dalam tahapan ini, konflik telah terjadi di antara manusia namun tidak terekspresikan. Selain itu, konflik laten juga bisa terjadi ketika negara mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat atau umat islam. Namun, masyarakat hanya bersikap diam dan tidak melakukan apa-pa.

Kedua, konflik terbuka, yang mana pihak-pihak berkonflik mulai berani mengekspresikan ketidaksetujuannya dan berujung pada perselisihan. Dalam isu RUU Pornografi beberapa waktu yang lalu, misalnya, para aktivis Islam mulai melakukan kampanye dan demonstrasi. Mereka mendukung adanya UU Pornografi yang kemudian ditolak oleh berbagai kalompok lain.

Ketiga, eskalasi dan perebutan kekuasaan. Pada fase ini, tensionalitas konflik mulai meruncing sedangkan pihak yang berselisih mulai menunggang kekuasaan masing-masing yang dilengkapi dengan intrik-intrik politik tertentu. Tentunya hal itu bertujuan saling mengafirmasi kelemahan bahkan mengultimatum pihak lain. Dan keempat, adalah tahapan puncak yang sering menyisakan aksi kekerasan. Pada titik makskimum ini, pihak penentang mulai berfikir bagaimana mengeliminasi pihak yang lain. Selain itu, kekerasan yang muncul tidak lagi berlangsung secara fisik saja, melainkan dengan cara struktural, kultural, dan simbolik. Semisal, dengan melibatkan media massa untuk menanamkan stigma yang buruk kepada lawan-lawanya. Biasanya, salah satu pihak mendapatkan “legitimasi” dari negara untuk mendukung cita-citanya.

Mengatasi Konflik

Beberapa cara dalam menyelesaikan konflik atau sengketa, yang sering kita temukan adalah negosiasi, litigasi, arbitrasi dan mediasi. Dalam negosiasi, para pihak atau wakilnya (negosiator) berusaha melakukan penyelesaian sengketa di antara mereka tanpa melibatkan pihak luar. Bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum formal di pengadilan adalah litigasi. Sedangkan arbitrasi, para pihak yang menginginkan adanya penyelesaian konflik melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang secara aktif terlibat dalam menentukan proses penyelasaian masalah dan kesepakatan akhir. Berbeda dengan arbitrasi, mediasi melibatkan pihak ketiga (mediator) yang dipilih secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak bertanggungjawab untuk secara aktif mencapai kesepakatan dengan difasilitasi oleh mediator.

Jika dibandingkan dengan yang lain, upaya penyelesaian konflik melalui mediasi memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, proses penyelesaian relatif lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mediasi juga banyak dipilih karena tidak jarang menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak tanpa ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’ (hlm.80). Ini berbeda dengan aksi-aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak di Indonesia. Meskipun proses penyampaian aspirasi dalam unjuk rasa itu diwarnai proses perundingan, sering kali mengalpakan mediator. Sehingga, perundingan antara wakil-wakil kedua belah pihak sering menemukan jalan buntu akibat mempertahankan ego, perspektif, dan persepsi masing-masing.

Dalam sejarah Islam, proses penyelesaian konflik dengan metode mediasi, juga pernah terbukti. Tepatnya pada masa renovasi Ka’bah oleh suku Quraisy pasca diserang banjir besar yang turun dari gunung. Dalam proses renovasi itu, muncul sebuah konflik antara ketua-ketua kabilah yang nyaris memakan korban jiwa di antara mereka. Adapun sumber konflik itu hanya memperebutkan kesempatan untuk meletakkan kembali sebuah batu hitam (hajar aswad) pada tempatnya yang telah dibersihkan dan disucikan.

Oleh para kabilah, akhirnya sepakat menunjuk siapapun yang berhasil memasuki pintu shafa pertama kali, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tatkala mereka mengetahui bahwa Muhammad-lah yang berhasil, mereka pun menantikan keputusan yang ditunggu-tunggu itu. Tanpa diduga mereka sebelumnya, Muhammad yang dipercaya sebagai orang yang jujur itu meminta sehelai kain. Di atas kain itu pula, Muhammad mengambil hajar aswad dan diletakkan di atas kain tersebut. Para ketua kabilah pun diundangnya untuk memegang tiap ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama hingga mendekati bibir tempat batu suci itu. Selanjutnya, batu itu diangkat dan diletakkan oleh Muhammad pada tempat semula. Dan, perselisihan yang hampir menjadi sumber perang saudara itu pun terhindarkan karena para ketua kabilah merasa tidak ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’.

Secara umum, buku ini menginspirasikan pembaca untuk menyikapi berbagai macam konflik yang ada, dengan sikap yang dewasa, bijaksana, tanpa merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Baik secara struktural, kultural, maupun simbolik. Minimal, dampak negatif dari adanya konflik perlu diminamalisir sekaligus mengupayakan terjaganya perdamaian dan kenyamanan global. Adapun salah satu inspirasi itu terpancar dari khazanah Islam dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan.[Muhammad Ghannoe]***

read more >>

Memadukan Batik Nusantara

batik, memadukan, gaya,
Judul:Padu Padan Batik
Penulis:Biliq Ratna & Friend
Penerbit:Wisma Hijau, Depok
Edisi:I, 2009
Tebal:58 Halaman
Buku ini merupakan salah satu apresiasi penulisnya dalam menyikapi produk batik khas Indonesia. Selain itu, juga sebagai kampanye positif agar bangsa Indonesia lebih mencintai dan memakai budaya produk dalam negeri. Sehingga tanggal 2 Oktober yang telah disepakati sebagai Hari Batik Nasional itu tidak sia-sia lantaran bangsa ini memakai batik sebagai salah satu koleksi mereka. Baik dalam bentuk pakaian secara sempurna maupun sebagai tampilan asesoris lainnya.

Batik, menurut buku ini, merupakan salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan tempo doeloe (masa lampau), misalnya, menjadikan ketrampilan membatik sebagai mata pencaharian. Tidak salah jika pekerjaan membatik waktu itu sempat dianggap sebagai pekerjaan eksklusif. Namun, setelah ditemukannya “batik cap”, pekerjaan membatik tidak lagi didominasi oleh perempuan. Kaum laki-laki pun turut serta berkecimpung dalam usaha perbatikan (hlm.6). Menurut Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo, batik Indonesia sebenarnya sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit. Hanya saja, bahan utama batik waktu itu banyak di datangkan dari China.

Baik bahan dasar maupun kedatangan bangsa asing ke nusantara, lambat laun menambah banyaknya corak baru pada batik yang beredar di nusantara. Warna-warna cerah, (seperti merah) dan corak phoenix dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Tionghoa. Begitu juga corak

" buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara "

bebungaan (seperti bunga tulip), bangunan gedung, dan kereta kuda, dipengaruhi oleh bangsa Eropa. Meski begitu, bangsa pribumi tetap konsisten dengan batik tradisional mereka yang mempertahankan kekhasannya.

Seiring perkembangan zaman, batik yang semula identik dengan kaum bangsawan kerajaan, lambat laun mulai memasyarakat. Terlebih, perkembangan strategi produksi dan aneka inovasi batik yang beragam semakin mendukung generasi bangsa ini untuk memakai batik. Di berbagai pasaran batik, misalnya, dapat kita jumpai aneka motif batik tradisional yang dikomposisi ulang dengan corak-corak ringan. Corak seperti inilah yang kemudian memungkinkan semua kalangan dapat memakainya tanpa kesan tua, kuno, atau kesan-kesan penghambat lainnya.

Selain mengulas aneka ragam batik zaman dulu hingga sekarang, buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara. Dalam penggunaan batik, misalnya, buku ini memberikan tips agar si pemakai tidak terkesan canggung, aneh, atau diledek orang lain. Adapun tips itu salah satunya bisa dengan memadukan batik dengan kondisi fisik si pemakai atau menggabungkan motif-motif batik tertentu dengan motif batik lainnya. Motif batik tradisional yang atraktif, misalnya, dapat dipadu dengan motif batik konvensional seperti motif sogan. Motif batik itu sendiri juga dapat dipadukan dengan motif-motif kain modern, seperti garis, kotak, dan bunga. Namun, semua itu hanyalah alternatif yang ditawarkan buku ini. Pembaca bebas memadukan motif-motif lainnya sesuai selera tanpa membenci dan menjahui batik.

Berbagai tips seputar pakaian batik dan sejarah singkat perkembangan batik nusantara itulah yang dibahas dalam buku ini. Selain design dan lay-out buku ini terkesan santai, foto-foto yang ada di dalamnya juga memberikan inspirasi tersendiri bagi pembaca. Selamat membaca dan bergaya dengan batik nusantara [MG. Sungatno/CABC].

read more >>

Sejarah sebagai Proses


KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Buku-buku GusDur
Judul:Membaca Sejarah Nusantara : 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis:Abdurrahman Wahid
Pengantar:KH. A. Mustofa Bisri
Penerbit:LKiS, Yogyakarta
Edisi:Pertama, 2010
Tebal:xx+133 halaman
Bab:Membaca Sejarah Lama (1)
Halaman:1-4

Membaca Sejarah Lama (1) merupakan fragmen pertama yang tersajikan dalam buku ini. Kolom ini mengajak pembaca untuk memasuki kesejarahan bangsa Indonesia melalui gerbang utama. Gerbang pembacaan sejarah yang selama ini acapkali terhindari dan –bahkan- tak disadari keberadaannya.

Meski cenderung praktis bernuansa tip, tulisan yang satu ini merupakan salah satu kunci untuk membongkar nilai-nilai sejarah yang tersaji maupun yang termanipulasi. Nilai-nilai itulah yang seyogyanya dijadikan pemantik pembaca untuk mengekpresikan pesan-pesan sejarah. Sejarah bukanlah produk penjabar, pengukuh, penolak, penghias, penyemangat, penjejal, dan perecok belaka. Melainkan juga sesuatu yang terlekati arti-arti dan nilai-nilai pasif.

Baik arti maupun nilai-nilai pasif itu sendiri hanya bisa diaktifasi dan direaktifasi melalui kesadaran akan pembacaan sejarah sebagai sebuah proses (hlm.4). Tanpa kesadaran itu penyimak sejarah bakal cenderung menjadi pasif dan memperparah kepasifan sejarah. Dikatakan memperparah karena dalam sejarah juga terdapat kepasifan dibalik tuturan yang seolah-olah aktif. Dan, kepasifan itu akan tampak jelas ketika sejarah terbuktikan ketergantungannya pada penyimak dan pengguna.
Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi. Perbedaan itu justru bakal digunakan sebagai bahan pemerkaya wawasan dan analisis yang memungkinkan penyimak bisa selamat dari kungkungan frame-frame tertentu. Luasnya wawasan dan analisis itu, kemudian, dijadikan sebagai pijakan untuk menilai suatu sejarah dan mengekspresikan pesan-pesannya di masa mendatang secara luas.

" Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi "


Penyimak semacam itulah yang nantinya bisa dikategorikan sebagai penyimak aktif yang mampu menggunakan pengetahuan sejarah. Mereka tidak hanya mampu menggunakan sejarah sebatas simbol-simbol keluhuran-kebiadaban dan solusi temporal-dangkal. Para orang tua tidak hanya akan menjadikan sejarah sebagai dongeng sebelum tidur bagi putera-puterinya belaka. Melainkan turut aktif dalam menjabarkan nilai-nilai positif-negatif yang musti diketahui buah hati mereka berikut penerapannya terkini.

Selain itu, ada juga penyimak pasif yang mempergunakan sejarah sebagai kenangan lawas semata. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang kuno, tak bermakna, dan hanya bisa dimanfaatkan sebagai pelipur atau pengalih kenangan. Sejarah menjadi sebatas dongeng faktual yang menyadarkan ingatan mereka bahwa di zaman dulu pernah terjadi suatu peristiwa atau kehidupan. Sejarah akan dijadikan sebagai bahan pencari solusi sesaat yang sifatnya temporal-dangkal. Semisal, untuk menjawab soal-soal ujian sekolah atau kuliah.

Lebih mengerikan lagi, ada juga penyimak yang menempatkan sejarah sebagai penjegal masa kini dan masa depan. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar lampau dan tidak bisa ditiru ulang atau diambil pelajarannya. Sejarah dianggap sesuatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang positif, konstruktif, dan berharga. Yang ada hanya dongeng karikatural. Tampak lucu jika dibaca ulang di zaman sekarang.*** [MG. Sungatno/CABC]

read more >>

Telusur Sejarah Wayang

wayang,sejarah,arjuna,nakula,sadewa,wayang golek, wong, potehi, china, asal-usul,jenis-jenis, ciri-ciri,ketoprakJudul Buku : Sejarah Wayang : Asal-Usul, Jenis, dan Cirinya

Penulis : Amir Mertosedono SH

Penerbit : Dahara Prize, Semarang

Cetakan : ke-3, 1993

Tebal : 116 halaman


Nampaknya, akhir-akhir ini para generasi muda Indonesia kurang berminat dan manaruh respek terhadap kebudayaan sendiri. Ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian dan kegemaran mereka terhadap kebudayaan wayang. Padahal, wayang merupakan hasil kebudayaan asli bangsa Indonesia.

Demikian disampaikan Amir Mertosedono SH di dalam lembaran kata pengantar buku yang berjudul Sejarah Wayang; Asal-Usul, Jenis, dan Cirinya ini. ”Sebagai hasil kreasi bangsa, wayang memiliki banyak peran di dalam kehidupan masyarakat. Baik sebagai media hiburan, pendidikan maupun sarana penyampaian informasi,” tambahnya.

Sangat patut disayangkan, lanjut Amir Mertosedono, bila kebudayaan sendiri akan terabaikan karena pengaruh unsur-unsur budaya asing. Sudah banyak orang-orang Amerika dan Eropa yang berdatangan ke Indonesia hanya untuk belajar dan memperdalam pengetahuan seputar wayang. Sangat ironis, kemudian, jika bangsa Indonesia malahan akrab dengan budaya asing namun asing dengan budaya sendiri.

Melalui buku ini, Amir Mertosedono berbagi pengetahuan seputar wayang yang jenisnya beraneka ragam itu. Ada Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Topeng, Wayang Wong (Wayang Orang), dan Wayang Beber. Ada juga Wayang China (Wayang Tithi atau Wayang Potehi), Wayang Klitik (Wayang Krucil), Wayang Kulit dan Wayang Madya. Selain itu juga ada Wayang Wong, Bedhaya Srimpi, Gambyong, Wireng, Pethilan, Bondhan, Golek, Langenwanara, Pranasmara, Topeng, Lerok, Ludruk, Kethoprak (Ketoprak), dan Ludruk.

Pada bab Sejarah Wayang, Amir Mertosedono, memaparkan asal-usul, silsilah, pengertian, dan jenis-jenis wayang. Dari sini terdapat kesimpulan yang syarat rujukan bahwa wayang adalah produk budaya asli bangsa Indonesia. Wayang telah ada dan pernah dipertunjukkan pada zaman kejayaan Kerajaan Kediri yang bertepatan pada zaman pemerintahan Raja Erlangga di awal abad ke-11. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa wayang telah ada pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Mamonang pada tahun 930.

Terlepas dari perbedaan tahun munculnya wayang pertama kali, wayang tetaplah wayang yang embrionya berasal dari leluhur bangsa Indonesia. Salah satu buktinya yang paling mudah adalah bahasa yang tergunakan dalam wayang. Bahasa Jawa, misalnya, merupakan bahasa asli masyarakat Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam pagelaran Wayang Kulit. Ia bukanlah bahasa bahasa India ataupun Yunani.

Memasuki bab Sifat dan Ciri-Ciri Wayang, pembaca bakal menemukan bahasan sifat-sifat wayang dan karakter atau watak tokoh-tokoh dalam pewayangan. Menurut Amir Mertosedono, sebagimana kutipannya terhadap hipotesis Dr. Hazeu, wayang di Jawa (dan di Indonesia pada umumnya) bersifat khusus dan tidak hanya berkutat pada unsur-unsur hiburan belaka. Namun juga memiliki ajaran-ajaran dan makna-makna kehidupan yang dilatari oleh suatu keyakinan (agama).

Di lembaran-lembaran yang lain, bab ini juga menyampaikan bahasan watak-watak yang diperankan oleh 30 tokoh. Di antaranya adalah putera ketiganya Dewi Kunthi yang bernama Arjuna. Sosok yang dalam cerita Mahabharatayudha berhasil menyelesaikan amukan Karna itu memiliki watak tenang dan halus. Berbeda jauh dengan Dursasana yang dalam menjalani takdir perannya sebagai sosok yang kasar dan brangasan itu (hlm.63).

Selain bahasan tentang asal-usul, jenis, dan ciri-ciri wayang, buku ini juga menghadirkan kajian lainnya secara mendalam. Mulai dari peralatan dan perlengkapan yang ada dalam setiap pagelaran wayang hingga kilasan cerita-cerita wayang. Semua itu disajikan Amir Mertosedono dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan sesekali melibatkan istilah-istilah Jawa. [MG. Sungatno/CABC]

read more >>

Nama Saya SBY

humor, cerita lucu, humor politik, merapi, yogyakarta, jakarta, sby
Judul Buku : Merapi Tak Pernah Ingkari Monarki : Kumpulan Humor tentang Gunung Merapi dan Keistimewaan Yogyakarta
Editor : Tri Agus S. Siswowiharjo
Penerbit : PSM Yogyakarta, GERAM, dan Barak Jinem
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : xi + 71 halaman

”Nama saya SBY. Jabatan Saya Presiden Republik Indonesia ke-6; hasil Pemilu 2004 dan pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, Istri dan anak-anak saya, juga tidak akan mencalonkan; jadi presiden 2014. Saat ini, saya, juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014. Biarlah rakyat dan Demokarasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang”.

Tepuk tangan dan senyuman hadirin Indonesian Young Leader Forum 2011 pun mulai reda. Minimal, tidak sekompak saat sosok yang mengenalkan diri dengan nama SBY itu mengawali momen perkenalan diri (9/6). Saat itu ada meriahnya tepuk tangan, senyum agak lebar, dan tawa-tawa pelan namun licin. Para hadirin seolah menemukan suasana baru yang lucu, sosok homoris, dan hal-hal janggal lainnya dari arah depan pandangan mereka. Ntahlah.



Tapi, adakah KTP warga Indonesia yang bertuliskan SBY belaka di belakang form namanya? Siapakah SBY itu? Dan juga, benarkah kata SBY merupakan akronim yang menjelma dari Susilo Bambang Yudhoyono saja?

Tentu tidak. Masih banyak SBY-SBY yang bukan berasal dari Susilo Bambang Yudhoyono. ”Sumber Bencana Yogya” pun bisa disusutkan menjadi SBY sebagaimana dalam kumpulan humor ini. Atau juga ”Sengsoro Banget Yo” (sengsara sekali ya). Lebih ngeri lagi, ”Soyo Bubrah Yo” (semakin berantakan ya) [hlm. 64].
Tiga versi kepanjangan dari urutan S, B, dan Y itulah yang tampak jelas dalam kutipan bernada plesetan negatif melengkapi buku ini. Namun demikian, potensi munculnya plesetan-plesetan lainnya tidak bisa ditebak kapan lagi munculnya. Yang jelas, masyarakat Yogyakarta terbukti berbakat dalam kreasi singkat-menyingkat dan memperpanjang kata atau susunan huruf.
Dalam keadaan adem ayem saja, misalnya, banyak nama-nama jalan di sini yang lebih akrab di sebut dengan singkatannya. Bukan dengan nama asli atau resminya dalam formalitas peta Yogyakararta. Lantas, bagaimana jika Wong Jogja merasa hatinya tak nyaman lagi saat keistimewaan Jogjakarta diusik dawuh dari Istana Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) di Jakarta? Kenyataannya; sempat berkibar spanduk-spanduk demonstran bertulis singkatan-singkatan dan atau kepanjangan suatu kata/huruf. Tak terkecuali pada sebuah nama yang lebih terhormat dan bercitra merakyat jika pemiliknya dipanggil Bapak eS, Be, Ye itu.

Kreatifitas membelak-belokkan, memplesetkan, memperpanjang dan menyingkat susunan kata semacam itu sebenarnya sudah lama dilakoni masyarakat Jogja dan daerah-daerah lain di kawasan Indonesia. Jauh sebelum Bapak SBY menjabat sebagai presiden Indonesia, dapat kita baca ulang dalam sejarah perjalanan Indonesia berikut permainan kata yang ada. Lihat saja, misalnya, istilah Supersemar, Gestapu, Gestok, dan masih banyak lagi tentunya. Hanya saja, tindakan semacam ini tidak jauh dari tujuan tertentu. Entah sebagai mediator untuk mempermudah penyebutan nama, propaganda politik maupun sekedar tindakan mengkonotasikan sesuatu pada hal-hal spesifik.

Dalam konteks ini, cukup menarik adanya kesimpulan yang sempat muncul dari Jean-Luc Maurer, Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED) Jenewa, Swiss. Menurut beliau, masyarakat Indonesia berbakat dalam membuat akronim. Caranya dengan menempatkan beberapa suku kata yang diambil dari kata-kata yang telah dipisah-pisahkan ke dalam bagian-bagian yang sudah diurutkan secara berdampingan (hlm. 64). Adapun akronim-akronim yang terkesan lucu dan bermain kata-kata itu lebih difungsikan sebagai sebagai Protes Politik di Indonesia.

Tak terkecuali akronim-akronim dan susunan kata-kata dalam buku tipis ini. Kata-kata yang semula tampak biasa, setelah tersusun, tercerita, dan tersirat suasana tertentu, berubah pula menjadi lucu. Dan, persis pula dengan apa yang ditengarahi Maurer bahwa ini semua tidak kering dari suasana protes-protes tertentu yang bernuansa politis. Hanya saja, nuansa politis itu tidak serta merta tampak dalam jilatan-jilatan politik sebagaimana panas dan gersangnya perdebatan sekaligus penyangkalan demi suatu tujuan. Melainkan muncul dalam ragam bahasan dan sindiran yang terkadang sama sekali terasa tidak lucu. Khususnya bagi pembaca yang jauh dari pemahaman situasi, kondisi, dan informasi -khusus maupun umum- yang melatari terjadinya kelucuan cerita.

Dengan begitu, dibarenginya kumpulan humor ini dengan kata pengantar, prolog, dan epilog, merupakan nilai lebih dari buku ini dalam usaha menangkal terjadinya perbedaan anggapan lucu atau tidaknya cerita. [Muhammad Ghannoe/cabc]

read more >>