Nama Saya SBY

humor, cerita lucu, humor politik, merapi, yogyakarta, jakarta, sby
Judul Buku : Merapi Tak Pernah Ingkari Monarki : Kumpulan Humor tentang Gunung Merapi dan Keistimewaan Yogyakarta
Editor : Tri Agus S. Siswowiharjo
Penerbit : PSM Yogyakarta, GERAM, dan Barak Jinem
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : xi + 71 halaman

”Nama saya SBY. Jabatan Saya Presiden Republik Indonesia ke-6; hasil Pemilu 2004 dan pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, Istri dan anak-anak saya, juga tidak akan mencalonkan; jadi presiden 2014. Saat ini, saya, juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014. Biarlah rakyat dan Demokarasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang”.

Tepuk tangan dan senyuman hadirin Indonesian Young Leader Forum 2011 pun mulai reda. Minimal, tidak sekompak saat sosok yang mengenalkan diri dengan nama SBY itu mengawali momen perkenalan diri (9/6). Saat itu ada meriahnya tepuk tangan, senyum agak lebar, dan tawa-tawa pelan namun licin. Para hadirin seolah menemukan suasana baru yang lucu, sosok homoris, dan hal-hal janggal lainnya dari arah depan pandangan mereka. Ntahlah.



Tapi, adakah KTP warga Indonesia yang bertuliskan SBY belaka di belakang form namanya? Siapakah SBY itu? Dan juga, benarkah kata SBY merupakan akronim yang menjelma dari Susilo Bambang Yudhoyono saja?

Tentu tidak. Masih banyak SBY-SBY yang bukan berasal dari Susilo Bambang Yudhoyono. ”Sumber Bencana Yogya” pun bisa disusutkan menjadi SBY sebagaimana dalam kumpulan humor ini. Atau juga ”Sengsoro Banget Yo” (sengsara sekali ya). Lebih ngeri lagi, ”Soyo Bubrah Yo” (semakin berantakan ya) [hlm. 64].
Tiga versi kepanjangan dari urutan S, B, dan Y itulah yang tampak jelas dalam kutipan bernada plesetan negatif melengkapi buku ini. Namun demikian, potensi munculnya plesetan-plesetan lainnya tidak bisa ditebak kapan lagi munculnya. Yang jelas, masyarakat Yogyakarta terbukti berbakat dalam kreasi singkat-menyingkat dan memperpanjang kata atau susunan huruf.
Dalam keadaan adem ayem saja, misalnya, banyak nama-nama jalan di sini yang lebih akrab di sebut dengan singkatannya. Bukan dengan nama asli atau resminya dalam formalitas peta Yogyakararta. Lantas, bagaimana jika Wong Jogja merasa hatinya tak nyaman lagi saat keistimewaan Jogjakarta diusik dawuh dari Istana Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) di Jakarta? Kenyataannya; sempat berkibar spanduk-spanduk demonstran bertulis singkatan-singkatan dan atau kepanjangan suatu kata/huruf. Tak terkecuali pada sebuah nama yang lebih terhormat dan bercitra merakyat jika pemiliknya dipanggil Bapak eS, Be, Ye itu.

Kreatifitas membelak-belokkan, memplesetkan, memperpanjang dan menyingkat susunan kata semacam itu sebenarnya sudah lama dilakoni masyarakat Jogja dan daerah-daerah lain di kawasan Indonesia. Jauh sebelum Bapak SBY menjabat sebagai presiden Indonesia, dapat kita baca ulang dalam sejarah perjalanan Indonesia berikut permainan kata yang ada. Lihat saja, misalnya, istilah Supersemar, Gestapu, Gestok, dan masih banyak lagi tentunya. Hanya saja, tindakan semacam ini tidak jauh dari tujuan tertentu. Entah sebagai mediator untuk mempermudah penyebutan nama, propaganda politik maupun sekedar tindakan mengkonotasikan sesuatu pada hal-hal spesifik.

Dalam konteks ini, cukup menarik adanya kesimpulan yang sempat muncul dari Jean-Luc Maurer, Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED) Jenewa, Swiss. Menurut beliau, masyarakat Indonesia berbakat dalam membuat akronim. Caranya dengan menempatkan beberapa suku kata yang diambil dari kata-kata yang telah dipisah-pisahkan ke dalam bagian-bagian yang sudah diurutkan secara berdampingan (hlm. 64). Adapun akronim-akronim yang terkesan lucu dan bermain kata-kata itu lebih difungsikan sebagai sebagai Protes Politik di Indonesia.

Tak terkecuali akronim-akronim dan susunan kata-kata dalam buku tipis ini. Kata-kata yang semula tampak biasa, setelah tersusun, tercerita, dan tersirat suasana tertentu, berubah pula menjadi lucu. Dan, persis pula dengan apa yang ditengarahi Maurer bahwa ini semua tidak kering dari suasana protes-protes tertentu yang bernuansa politis. Hanya saja, nuansa politis itu tidak serta merta tampak dalam jilatan-jilatan politik sebagaimana panas dan gersangnya perdebatan sekaligus penyangkalan demi suatu tujuan. Melainkan muncul dalam ragam bahasan dan sindiran yang terkadang sama sekali terasa tidak lucu. Khususnya bagi pembaca yang jauh dari pemahaman situasi, kondisi, dan informasi -khusus maupun umum- yang melatari terjadinya kelucuan cerita.

Dengan begitu, dibarenginya kumpulan humor ini dengan kata pengantar, prolog, dan epilog, merupakan nilai lebih dari buku ini dalam usaha menangkal terjadinya perbedaan anggapan lucu atau tidaknya cerita. [Muhammad Ghannoe/cabc]

read more >>