Memoar Sisa Supersemar

Soekarno, Wilardjito, Supersemar, Soeharto, Indonesia
Judul:Mereka Menodong Bung Karno; Kesaksian Seorang Pengawal Presiden
Penulis:Soekardjo Wilardjito
Penerbit:Galangpress, Yogyakarta
Edisi:2008
Tebal:354 halaman


Indonesia telah menutup usia kemerdekaannya yang ke-62. Kini, sejak 17 Agustus 2008 kemarin, negara ini mulai membuka lembaran baru di usia kemerdekaannya yang ke-63. Tentunya, dalam menapaki usianya yang tidak muda lagi ini terdapat beragam keinginan dari bangsanya.


Kehidupan bangsa dan negara yang sukses adalah cita-cita yang selalu menggelora dan menggema diatas bumi nusantara ini. Untuk itu, tentunya bangsa ini perlu memandang masa depan dengan penuh cita-cita kesuksesan, merealisasikannya dalam sikap, tindakan, dan ucapan, serta tidak menafikan pelajaran dan pengalaman masa lalu. Dari sejarah masa lalu itulah, akan terpancar ribuan cahaya yang terpendar-pendar dan menuntun kita dalam bersikap, bertindak, dan berkata menuju kesuksesan yang kita idam-idamkan bersama.

Buku ini, merupakan literatur sebuah sekuel sejarah yang akan mengajak pembaca untuk membicarakan masa lalu Indonesia. Memang, membaca judul buku ini saja, pembaca akan mengetahui bahwa kita akan diajak membicarakan sosok mantan Presiden Soekarno. Tentunya, dalam buku ini, pembaca akan menemukan situasi intrik-intrik politik yang pernah dialami presiden pertama kita ini dalam rentang masa kepemimpinannya. Sedangkan Wilardjito, selain sebagai penulis buku ini, adalah sosok veteran TNI-AD yang pernah mendapat tugas penjagaan atas keselamatan Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari.

Dikisahkan, pada tanggal 10 Maret 1966, Pressiden Soekarno berada di istana Bogor. Malam itu, petugas yang menjaga keselamatan Presiden adalah Kolonel Sumirat. Setelah Soekarno masuk kamar dan hendak tidur, Sumirat pun mengundurkan diri. Selanjutnya, Wilardjito ganti melakukan penjagaan sekaligus mengontrol anak buahnya di lokasi Istana tersebut. Memasuki tanggal 11 Maret 1966 dini hari, ketika berada disekitar air mancur di depan Istana, Wilardjito bertemu dengan salah satu anggota Cakrabirawa yang hendak memberikan laporan.

Dalam laporan itu, Pelapor mengabarkan bahwa ada empat Jenderal yang berada di pos tunggu dan ingin menghadap Presiden. Mengetahui hal itu, Wilardjito segera menyuruh pelapor untuk menolak keinginan empat Jenderal dengan alasan Presiden sedang istirahat dan tidak boleh diganggu. Belum sempat keduanya berpisah, keempat Jenderal tersebut –Jenderal M. Yusuf, Amir Machmud, Basoeki Rachmat, dan M. Panggabean- mendatangi keduanya. Setelah keempat Jenderal itu menyampaikan kedatangannya, Wilardjito langsung menolak keinginan mereka. Namun, mendengar jawaban Wilardjito itu mereka segera "menyerang" dengan pembelaan bahwa maksud kedatangan mereka sangat penting dan mendesak.

Setelah melalui sebentar pertimbangan, Wilardjito menyetujui mereka. Keempat Jenderal itu diminta menunggu Presiden diruang kerja beliau. Sementara, Wilardjito segera menuju pintu kamar Soekarno dan memberitahukan hal itu. Sedangakan si pelapor, segera kembali ketempat tugasnya.

Seusai memberitahu kedatangan empat Jenderal kepada Soekarno, keenam orang pun bertemu dalam satu ruang; ruang kerja kepresidenan. Empat Jenderal pun segera mengutarakan maksud tujuan mereka yang diwakili Jenderal M. Yusuf. Kemudian, dari tangan Jenderal itu menyodorkan sebuah map warna merah jambu yang didalamnya terdapat sebuah surat perintah yang belum bertanda tangan. "Mohon Paduka menandatangani," pinta M. Yusuf sambil memandang Soekarno. Menurut Wilardjito, setelah membuka map itu Soekarno terlihat terkejut. "Lho, ini kok diktum militer, dan bukan diktum kepresidenan?", tanya Soekarno dengan nada kaget sambil memandangi keempat Jenderal tersebut (hlm. 159).

Memang benar, menurut penulis yang saat itu kebetulan berada dibelakang Presiden, surat perintah yang dibuat sepihak itu tidak terbubuhi lambang Garuda Pancasila dan Kop surat yang bertuliskan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Melainkan, dalam secarik surat itu terdapat Kop Markas Besar Angkatan Darat (Mabad) yang tertera di pojok kiri atas kertas. Mendapat pertanyaan ganas itu, keempat Jenderal hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban yang memuaskan. "Untuk merubah, waktunya sudah sangat sempit. Tanda tangani sajalah Paduka. Bismillah", jawaban Jenderal Basoeki menyelonong dalam kebekuan suasana sembari mencabut pistol FN 46 dari sarungnya dan diikuti Panggabean. Tak kalah cepat, Wilardjito yang bertanggung jawab atas keselamatan Presiden pada malam itu, dengan cepat mencabut pistolnya yang kemudian diarahkan kepada empat Jenderal tersebut.

Suasana menjadi tegang. Namun, melihat hal itu Soekarno segera melerai mereka dan menyepakati keinginan empat Jenderal untuk menandatangani surat tersebut. Sebagai gantinya, Soekarno meminta kepada mereka untuk segera mengembalikan surat itu setelah selesai digunakan.

Pada pukul 16.30, Soekarno kembali didatangi M. Yusuf, Amir Machmoed, dan Basoeki Rachmat. Mereka meminta kepada Presiden untuk memberikan surat perintah yang berdiktum kepresidenan demi keamanan dan ketertiban masyarakat bagi Jenderal Soeharto. Setelah Soekarno memberikan surat yang mereka inginkan itu, Surat Perintah dibacakan pada pukul 20.00 WIB di RRI Pusat dan dilanjutkan dengan pembacaan surat pembubaran PKI.

Setelah siaran selesai, para anggota PKI pun ditangkapi oleh mereka, termasuk orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Wilardjto, merupakan salah satu orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang juga ditangkap pada malam itu juga. Kemudian, ia di sidik, dipukuli, ditelanjangi, disetrum, dimaki-maki, diancam dan berbagai siksaan lainnya. Bukan hanya itu, tanpa tuduhan yang jelas, ia langsung di masukkan LP. Wirogunan (Yogyakarta), LP. Kalisosok (Surabaya), dan terakhir di LP Ambon. Wilardjito bebas pada tanggal 9 Januari 1978 (hlm. 199-151).

Ironisnya, ia mendapat masalah lagi setelah "membeberkan" peristiwa Supersemar di Harian Umum Bernas, Yogyakarta, pada 22 Agustus 1998. Hasilnya, 29 kali persidangan untuknya, dengan tuduhan 'memberitakan kabar bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat'. Namun, pada akhirnya, Makhkamah Agung (MA) membebaskan Wilardjito dari segala tuduhan, pada 14 Agustus 2007.

Sebagai buku sejarah yang mengeluarkan cerita yang berbeda dengan pihak pemerintah dan versi pihak lain, tentunya buku ini cukup menghentakkan pembaca. Meski begitu, tidak menutup keinginan pembaca untuk "menyandingkan buku ini dengan buku lain", guna memperoleh keotentikan sejarah Indonesia. Dari keotentikan sejarah tersebut, bangsa ini akan lebih jelas dalam menyikapi sejarah perjalanan negeri ini, apakah patut diralat atau dilanggengkan dan dikabarkan kepada para generasi bangsa yang kelak memimpin bangsa ini.***

read more >>

Hakikat Cinta

resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta
Judul:Rumah Cinta
Penulis:Mustofa W Hasyim
Penerbit:Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Edisi:Mei 2008
Tebal:263 halaman


Novel “Rumah Cinta” ini berkisah tentang universalitas cinta. Cinta tidak lagi bermakna seutas tali kasih yang mengikat antara dua individu yang berbeda. Melainkan tali kasih yang mampu memantik spirit kemanusiaan guna menuai kesuksesan bersama. Manusia belum bisa dikatakan sukses secara sempurna sebelum ada orang lain yang mampu mengikuti kesuksesannya dan atau melampauinya. Sehingga, dari spirit mengajak dan atau mendukung orang lain untuk sukses inilah yang kelak akan menemukan suatu pencerahan yang bernilai lebih (plus) secara global.

Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, merupakan setting tempat dan suasana yang dijadikan penulis dalam membentangkan ceritanya. Sedangkan, sebelum dan sesudah tanggal 27 Mei 2006, merupakan waktu yang dijadikan Mustofa sebagai ladang spiritual. “Di atas” inilah cerita akan tumbuh dan berkembang memancarkan aura penyemangat bagi pembaca. Terlebih, bagi pembaca yang pernah bersinggungan dengan latar ini akan terbuai dengan aura yang tumpang tindih antara keindahan, kebudayaan, dan pendidikan. Bukan hanya itu, antara jeritan, tangisan, penyesalan, umpatan, senyuman, dan ucapan ikrar akan datang bergulung-gulung dalam bentuk kenangan yang syahdu ketika pembaca ingat peristiwa gempa bumi berkekuatan 5,6 skala richter.

Menurut Mustofa, 27 Mei telah terlampaui. Namun, bukan berarti peristiwa tragis yang menelan banyak korban itu patut untuk dibiarkan menguap dari ingatan kita begitu saja, terutama masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng).

Di kisahkan, beberapa hari sebelum peristiwa gempa bumi, seorang kakek penjual pot (vas bunga dari tanah liat) menjajakan dagangannya di Kota Yogya. Dengan telapak kaki tuanya, penjual pot itu menyusuri lorong-lorong jalan di perkotaan dengan sejumlah pot yang bergelantungan karena terikat pikulan di pundaknya. Meskipun fisiknya telah “tergerogoti usia”, kekuatan penjual pot masih tampak jelas saat mengangkat pot dengan berbagai ukuran yang goyang ke kanan dan ke kiri.

Etos kerja yang begitu dahsyat, menjadikan masyarakat yang ditawari dan dilaluinya terkagum-kagum. Meski demikian, rasa kagum itu tak mampu membendung rasa kasihan dan kaget ketika mengetahui sisi lain penjual pot. Sebenarnya, lelaki tua itu memiliki sejumlah anak dan

" novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan "

cucu yang sudah dewasa, berumah tangga dan kecukupan. Anehnya, penjual pot tidak ingin berhenti dari profesinya yang telah dijalani sejak muda. Ia lebih rela di goblok-goblokkan orang-orang di belakangnya dan berkeras kepala dari pada meninggalkan pekerjaan yang didapatkannya dari para leluhurnya secara turun-temurun.

Dalam perjalanannya menjajakan pot, penjual itu menghabiskan waktu-waktu senggang imajinasinya untuk mengenang masa-masa muda saat berjualan. Saat ada pembeli -seorang ibu muda- yang telah berlalu dan meninggalkan uang di telapak tangan penjual pot, sontak mengagetkan dirinya. Penjual pot ingat bahwa ia pernah tergoda dengan rayuan seorang ibu muda nan cantik.

Jenazah

27 Mei 2006, gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan Jateng. Korban jiwa dan bangunan menandai suramnya peristiwa masa itu. Tak disangka. Di tengah gempa yang susul-menyusul, seorang laki-laki yang sehari-harinya bekerja sebagai pemandi jenazah di salah satu rumah sakit di kota, tersesat di desa asal penjual pot. Ketersesatan itu bermula saat ia hendak berkunjung ke tempat orang tuanya yang menjalani kehidupan di desa.

Yang mengharukan, pemandi jenazah itu justru menggagalkan niatnya untuk menjenguk orang tuanya. Ia lebih memilih menolong kakek penjual pot yang sedang terpisah dengan istri tercintanya saat berlari menyelamatkan diri. Sang kakek pun diantar pulang dan mencari istrinya yang dikabarkan dibawa relawan ke rumah sakit. Sesampai di sana, pemandi jenazah masih melanjutkan misi kasih sayangnya terhadap sesama manusia.

Ia mendaftar menjadi relawan pencatat dan pemandi korban gempa di rumah sakit itu. Bukan hanya itu, bagi korban gempa yang membutuhkan informasi dan pertolongan lainnya, dengan enteng, pemandi jenazah membantu mereka. Padahal, anak dan istrinya di Yogyakarta sempat mengalami ketakutan saat ada gempa.

Dengan kata-kata mutiara yang sering diselipkan penulis melalui tokoh-tokohnya, novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan. Meski demikian, alur cerita dan kehadiran tokoh yang samar-samar kedatangannya, menimbulkan kendala tersendiri bagi pembaca.

Muhammad Ghannoe, Aktif di Scriptorium Lintang Sastra Yogyakarta



Sumber : Suara Pembaruan, 6 Juli 2008 - Halaman 7

read more >>

Cinta dan Rasa Kemanusiaan

resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta
Judul:Rumah Cinta
Penulis:Mustofa W Hasyim
Penerbit:Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Edisi:I, Mei 2008
Tebal:xi + 263 halaman



CINTA MEMANG BUTA (love is blind). Kehadirannya mampu melebur sekatsekat ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Lihat saja kisah cinta yang diperagakan para pahlawan nasional terhadap Tanah Air mereka, Kaisar Hirohito terhadap Jepang, Mahatma Gandhi terhadap India, Nabi Muhammad, Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya terhadap Tuhan dan umat mereka.

Spirit cinta yang universal itulah yang diadopsi Mustofa W Hasyim sebagai tema besar dalam novel Rumah Cinta ini. Dengan menggunakan Yogyakarta sebagai setting tempat, novel ini seakan benar-benar terangkat dari ranah berkumpulnya masyarakat yang majemuk (pluralis).

Dalam novel 263 halaman ini, Mustofa menyajikan ceritanya dari kehidupan sosial yang berlangsung di Yogyakarta. Daerah penghasil gerabah dari tanah liat ternama di Yogyakarta merupakan menu pertama yang membuka jalannya cerita. Sepasang kakek-nenek produsen vas bunga dari tanah liat menjadi tokoh utama.

Dalam perjalanannya mengais rezeki, sang kakek sering bertemu dengan masyarakat Yogya yang memiliki watak dan karakter yang sangat berbeda dengan masyarakat di desa. Semisal, konsumtif, individualistis, egois, mencampuradukkan bahasa dan budaya yang berbeda, serta mulai mengabaikan tata krama masyarakat Yogyakarta.


Sungatno, pegiat di Skriptorium Lintang Sastra Yogyakarta dan anggota Tim Riset Kronik Kebangsaan Indonesia (1908-2008).




Sumber : MEDIA INDONESIA • SABTU, 21 JUNI 2008 • HALAMAN 18

read more >>