tag:blogger.com,1999:blog-51040936123178640802024-03-13T18:58:19.347-07:00Cawan Aksaraadminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-3387111053257446172014-12-01T05:27:00.000-08:002014-12-01T05:39:46.037-08:00Hari Ini, Tintin di Bandung<p><b>Tintin</b> masih di Bandung. Kali ini, bukan misi petualangannya. Bukan juga investigasi prostitusi, bukan pula wisata kuliner. </p><p>Tetapi, dihadirkan langsung oleh Sang Petualang Data, <b>Anton Kurnia</b>, sebagai objek kajian eksplorasi dan perbandingannya. Mulai dari zaman kelahiran hingga zaman plesetan. Termasuk, juga iklan hingga relasi kenegaraan.</p><div class="fullpost"><p>Semuanya ditulis dan dirangkum dibawah empat judul tulisan dalam lembar <b>Telisik</b> halaman ke-21 hingga ke-22 di koran <b>Pikiran Rakyat</b>. Pada Edisi Senin (Wage) 1 Desember 2014 ini lah empat judul tulisan Anton Kurnia itu diberi aran : <i>Tintin : Kisah Seru Wartawan Petualang; Herge, Sang Komikus Legendaris; Petualangan Tintin di Indonesia;</i> dan <i>Tintin Imitasi, Komik Parodi, dan Jokowi</i>. </p><p>Usai menyimak "<i>Tintin Imitasi, Komik Parodi, dan Jokowi</i>," ragam adegan imajinasi ini kembali menguntit. Usai kubuka pintu intipan, aku menemukan beragam ingatan yang memantik senyum hingga gregetan. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1DC2wVkcU50Cqbylf_QpR99oeiIPdl5fYCAVH262-44T18cVdez40GVHwSgRVUcphFwGedjVGTpPHzRCojvYoxGlRNwWqquR10vJRQEkZBCFM_3cSmZiyEA0Qhfhy3hCXDHLcXOX61bQ/s1600/cawanaksara.blogspot.com_Pikiran_Rakyat_20141201_Selisik_Tintin.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1DC2wVkcU50Cqbylf_QpR99oeiIPdl5fYCAVH262-44T18cVdez40GVHwSgRVUcphFwGedjVGTpPHzRCojvYoxGlRNwWqquR10vJRQEkZBCFM_3cSmZiyEA0Qhfhy3hCXDHLcXOX61bQ/s320/cawanaksara.blogspot.com_Pikiran_Rakyat_20141201_Selisik_Tintin.PNG" /></a></div><p>Oh ya, sebelum dalam Iklan Kampanye Politik Indonesia, Tintin sempat muncul pada poster-poster iklan Wisata Indonesia. Saya lupa agen iklan mana yang mengadopsi Tintin dalam gambar hitam-putih itu. Yang jelas, tokoh Protagonis dalam dongeng lesan maupun cerita terekam juga tertulis, cukup seksi untuk dijadikan objek kepentingan di luar bingkai global suatu kisah. Tetapi, menurut saya, tindakan melesatkan atau mutilasi karakter semacam itu rentan mengancam karakter asli suatu karya. Jika tragedi semacam itu menimpa konsumen awam dan lugu, maka suatu karya, tokoh, dan Peng-karya-nya, bisa-bisa bakal terciprat getahnya. </p><p>Memang, tidak ada salahnya seorang pengagum dan penyuka idolanya meniru dan mencuri hal-hal positif dari Sang Idola. Namun, jika tindakan itu diplesetkan hingga mengancam pihak lain atau -bahkan- idolanya sendiri, saya kira, perlu adanya rekayasa pertimbangan ulang. </p><p>Ini bukan cuma soal plesetan yang mengarah pada pornografi, pornoaksi, relasi politis, politik praktis, hingga ajakan-ajakan (dakwah) lain yang dikemas dalam beragam kesan dan pesan. Tapi juga, soal keberlangsungan pengidola lain dalam proses memutar ulang kenangan, menghayati, menjaga, hingga menjustifikasi Sang Idola di kemudian hari. </p><p>Jika tindakan pemplesetan -atau penafsiran ulang- itu kebetulan cocok dengan apa yang diminati orang-orang awam, sangat mungkin tidak akan langsung menimbulkan masalah. Namun, dari kalangan awam maupun fasih yang tidak cocok dengan latar belakang, proses, hingga hasil yang muncul usai terjadinya tindakan itu, sangat mungkin akan melawan. </p><p>Cukup maklum jika perlawanannya itu dialamatkan pada tindakan pemplesetan. Namun sangat disesalkan jika ketidakmampuan melawan tindakan pemplesetan itu malah balik melawan, membenci, dan menghujat hal-hal yang diplesetkan pihak-pihak yang ditentang. Yang dalam hal ini, bisa mengarah suatu karya, idola, penulis, hingga orang lain yang tidak tahu menahu permasalahan itu namun sama-sama mengidolakan suatu karya yang sama.</p><p><center>*** </center></p><p>Sebatas konteks itulah, saya sempat risih saat ada iklan televisi lokal yang melibatkan imaji publik dan tokoh punakawan dalam gelaran wayang juga ketoprak. Dalam iklan yang konon sebagai Iklan Masyarakat itu, ada beberapa punakawan yang sedang ngasap tembakau di sebuah warung. Akhir dari iklan pemerintah lokal itu tadi, mengajak warganya untuk menjadikan desa mereka sebagai “Desa Bebas Asap Rokok”.</p><p>Tentu bukan soal kontroversi regulasi, politik dibalik hukum, dalih kesehatan, dalih ekonomi, dalih etika, dan dalih budaya. Yang saya sayangkan, kenapa konsep iklan itu melibatkan tokoh-tokoh yang sudah merasuki imajinasi bawah-sadar publik untuk dibenturkan pada publik itu sendiri. Padahal, ujung <i>goal</i> pada iklan itu sendiri masih berbuntut kontroversi yang rumit.</p><p>Selain punakawan, tentu masih banyak tokoh-tokoh protagonis dalam suatu cerita atau karya yang dilihkan perannya secara paksa, kentara, maupun samar-samar. Entah dalam produk komersil maupun nir-laba, semacam organisasi dan komunitas tertentu. </p><p>Walau begitu, sekali lagi, tidak ada salahnya jika para pengidola atau penyuka seorang tokoh itu ingin menjadi (wanna be) atau meniru-niru hal-hal yang dianggap patut ditiru dari Sang Tokoh. Tetapi, jika tindakan meniru Sang Tokoh itu diwujudkan secara verbal dan dibenturkan pada mereka-mereka yang suka namun awam dalam beragam kepentingan dan pertimbangan, maka rentan terjadinya bencana “kesurupan massal”. </p><p>Jika menjelma efek “positif”, tanpa kontroversi, dan berkepanjangan, maka teori kesurupan selama ini tidak selamanya jelek. Namun, jika pada masa-masa ketidaksadaran itu ternyata banyak “efek samping”-nya bagi publik, maka dapat dipastikan, bahwa itulah tanda-tanda kesuksesan pihak-pihak berkepentingan di belakang marketing dan sales.</p><p><center>*** </center></p><p>Memang, rentannya potensi permasalahan semacam itu, bisa dikembalikan lagi pada diri kita sendiri-sendiri. Serumit, sejauh, dan separah apapun gelagat negatif pihak-pihak yang memanfaatkan “tokoh suci” dalam imajinasi, akan redup dengan sendirinya jika kita mampu mengidentifikasinya. Tindakan memelintir kenangan dan ajaran yang dilakukan di atas kepentingan-kepentingan kusam, bakal balik dengan sendirinya. Tentunya, perlu adanya tindakan lanjutan sebagai bentuk penangkalan.</p><p>Setidaknya, dengan menyimak karya-karya eksplorasi, perbandingan, dan analisa kepentingan, kita bisa meningkatkan wawasan dan jeli dalam mengidentifikasi keaslian karakter suatu tokoh. Dan, terkait tokoh Tintin, tidak ada dari Herge yang mengajak pembaca untuk turut serta ”berwisata wanita”. </p><p>Jika menemukan karya-karya yang melibatkan Tintin dan tokoh-tokoh positif lainnya dalam durasi pornografi, pornoaksi, iklan produk, dan semacamnya, itu kemungkinannya datang dari pihak ketiga. Akan lebih bagus jika karya-karya semacam itu disingkirkan terlebih dahulu sebelum anak-anak atau adik-adik kita mampu menganalis kepentingan di balik itu semua. Termasuk, juga efek-efeknya. <b>[]</b></p></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-4544335558518936302014-06-01T14:02:00.001-07:002014-07-15T05:07:12.427-07:00Istilah BAB : Babul Babagan, Bab!<p>Kata <b>BAB</b> dalam istilah buku-buku berbahasa Indonesia itu dari kata apa? Siapa yang pertama kali menggunakan kata Bab sebagai bagian dari judul pembahasan dalam buku-buku berbahasa Indonesia? </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwp2dxBYlHiD3oBj7WD6lfObbz_QPodxJT8CoqqtixZSLOwgAByKhNTn8CayuBBwYC77chX_afUKZa-02zJ9fjCs_MgfJyWYMJDnDnMXEpHTUwYQEKXtRfTfc7W_v9ZQFseYXdXj1F8fs/s1600/Bab_1_Sejarah_Pasucen.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" alt="sejarah kata bab indonesia, sejarah pasucen" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwp2dxBYlHiD3oBj7WD6lfObbz_QPodxJT8CoqqtixZSLOwgAByKhNTn8CayuBBwYC77chX_afUKZa-02zJ9fjCs_MgfJyWYMJDnDnMXEpHTUwYQEKXtRfTfc7W_v9ZQFseYXdXj1F8fs/s320/Bab_1_Sejarah_Pasucen.jpg" /></a></div><div class="fullpost"> <blockquote><p>Puluhan tahun mengenal kata <b>Bab</b>. Ratusan kali mengucap kata Bab. Ribuan kali melihat kata Bab. Dan jutaan kali menulis kata Bab. Milyaran kata Bab, sudah tersebut, terekam, tercetak, terdigital, dan terpopular.
</p></blockquote><p>Dalam kitab Arab ataupun Ngarab, sudah lama sekali adanya istilah Bab. Sebuah istilah khusus yang ditarik-mesra dari perumpamaan gerbang tak berdaun menuju paviliun.
</p><p><i>Baabun</i> . Memang bisa dipadankan dengan <i>gerbang</i> atau <i>pintu</i> dalam bahasa Indonesia. Bisa pula dikatakan satu kali saja menggunakan pola pewakafan yang menawan. <b>Baabun</b> (<i>bãbun</i>), menjadi <b>Baab</b> (<i>Bãb</i>). Atau, boleh juga disulih menjadi <b>Bab</b> saja.
</p><p>Dalam budaya Jawa sisih utara, tidak sedikit masyarakat yang menggunakan gaya <i>slank</i> dalam menyebut istilah <b>Babagan</b>. Dari yang semula tiga ruas, menjadi satu ruas. <b>Ba-ba-gan</b> berubah cekak menjadi <b>Bab</b>.
</p><p>Maksud Bab yang satu ruas (buku) ini juga sama dengan yang tiga ruas tadi. Adapun padanannya masih tetap sama pada "<b>pembahasan</b>" ataupun "<b>bahasan</b>". Ia akan kembali disebut masyarakat Pantura secara normal dalam situasi-siatuasi <u>formal</u>. Jika masih dalam situasi <u>non-formal</u>, kata babagan cenderung diwakafkan menjadi Bab. Umpamanya, di tengah obrolan ringan gazebo, gardu, rondan, angkruk (cangkruk), gubug, pematang, dan lainnya.
</p><p>Lalu, apa benar, kata Bab yang menjadi istilah khas pada penjudulan bahasan-bahasan dalam buku berbahasa Indonesia itu berasal dari kata murni nan asli. Atau, apa iya, kata bab-bab itu disuling dari kata lain dalam bahasa non-Indonesia ?
</p><p>Kata Bab Arab dan Bab Jawa memang berbeda jika dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata Bab dari Arab cenderung dipadankan dengan Pintu atau Gerbang. Tetapi, dari sisi budaya perbukuan, kata Bab Arab ini memiliki kesamaan. Sedangkan kata Bab dari Jawa sisih Utara cenderung dipadankan dengan kata Bahasan atau Pembahasan.</p><p>Artinya, kata Bab Jawa ini gagal untuk dipadankan dengan kata Bab dalam budaya penjudulan bahasan dalam buku-buku berbahasa Indonesia. Akan tetapi, kata Bab dari Jawa ini lebih cocok, lebih dekat, dan lebih realis jika disandingkan dengan maksud Bab dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, judul Bab I : Randu Pati. Bisa dipahami; Bahasan Pertama : Randu Pati.
</p><p>Yang jelas, kata Bab dalam bahasa Indonesia ataupun istilah perbukuannya, bukan berasal dari kata <i>Baby</i> yang di-<i>cool</i>-kan menjadi Bab [<b>Bæb</b>]. Tidak juga dari kata <b>Babi</b> meski sesekali ada penulisan angka romawi yang menyebabkannya seperti Babi. Begini: BAB I, BAB II, BAB III. Jika dilengkapi, contohnya begini: BAB I : BABI HUTAN. Maksudnya bab ini, Pembahasan Pertama tentang Babi Liar. Celeng!. ***</p>
</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-48216405736703047882012-02-15T05:10:00.000-08:002012-02-15T05:20:55.785-08:00Orang Kristen Naik Haji<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgd_l6wes5_MlamDlFJ2lgz3ijBlq6gsI-jG89KsQ6Ox2EaHGtauzJYNVj6m3PoodsJYqGJw4AkVkboAslPW8GPDhzfRFoZ1y7jYfCvQpHlUZ6rbN_zfJMmfDiJvFjD5SbdnfFHAm9iN-s/s320/penerbit_serambi_orang_kristen_naik_haji_augustus_ralli.jpg" alt="orang kristen, madinah, mekah, haji, Ausgustus Ralli" border="0" /></td></tr><br /><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Orang Kristen Naik Haji</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Augustus Ralli</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerjemah</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Taufik Damas</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Serambi, Jakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tahun</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I (Pertama), 2011</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">360 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br></br>Peresensi : <b>MG. Sungatno</b><br></br> Sumber Resensi : <b>Majalah Kuntum</b>, nomor 325 / Februari, 2012. hlm.16<br></br> <div class="fullpost"><h2>Ceruk Deskripsi Resensi</h2><br></br> Salah satu nilai lebih dalam buku ini terletak pada nuansa totalitas mencari pengetahuan yang digelorakan tokoh-tokoh realis yang diadaptasi ulang oleh Augustus Ralli. <br></br> Mereka tampak berani mempertaruhkan konskuensi holistik-matematik demi titian pengetahuan yang diidam-idamkan. Padahal, getar-getar pengetahuan yang bikin bulu bergidik itu berada di tengah pusara ancaman mematikan.<br></br> Walhasil, kisah nyata yang terpadatkan dalam 350 halaman ini tergolong mampu memberikan sumbangan wawasan yang mencengangkan. Baik bagi umat Kristen (non-Muslim) maupun umat Islam dan dunia ke-Islam-an. <br></br>Lebih-lebih juga dilengkapi Ralli dengan catatan-catatan khusus seputar Mekah, Masjidil Haram, Haji, dan Madinah pada abad ke-15 hingga ke-19. (<b>MG. Sungatno/CABC</b>)</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-48982626087465053122011-12-26T08:11:00.000-08:002011-12-26T08:20:29.509-08:00Menyoal Kualitas Kesaksian Perempuan<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX2ucfvoPa53WC0pFKOqB2Z2wj4XuTRN2xJj_0R2r5OfBtuv2ehleD3ICG5kqZ-Oyp6KlFsSgj4OhgA9jdTVkGy6wRtB_P2_ziDTXD1SEE1ppXloI0MhQWFiKH0-hY1BaspVuhd-QTCTk/s1600/Kesaksian+perempuan.jpg" alt="resensi buku, buku, gender, perempuan, Lia Aliyah al Himmah" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Kesaksian Perempuan; Benarkah Separuh Laki-laki?</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Lia Aliyah al Himmah</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Rahima, Jakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I (Pertama) 2008</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">52 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br />Berdasarkan Q.S. Al Baqarah ayat 282, banyak yang memahami bahwa kesaksian perempuan bisa dikatakan "sah", jika digabung dengan kesaksian –minimal- seorang laki-laki. Kesaksian perempuan itu pun, belum bisa dikatakan sah, jika tidak dikuatkan dengan kesaksian –minimal- seorang perempuan lagi.<br></br><div class="fullpost">Selanjutnya, diantara para ulama dan pengkaji ilmu <i>fiqh</i> (fikih), berdasarkan al Baqarah ayat 282 itu, timbul perdebatan panjang yang hingga kini terasa belum usai. Meski demikian, sedikitnya ada dua pandangan terkait perempuan dan kesaksian. Pertama, perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk menjadi saksi. Baik dalam pernikahan, perceraian, dan hudud (masalah pidana). Kedua, meskipun dibolehkan memberikan kesaksian, nilai kesaksian perempuan dihargai separoh dari kesaksian laki-laki. Dua saksi perempuan, sama dengan satu saksi laki-laki.<br></br>Dari sini, tampak bahwa diantara kaum laki-laki dan perempuan masih ada sekat-sekat kuat yang membedakan diantara keduanya. Padahal, secara konseptual, berdasarkan al Qur'an dan Al Hadits, keberadaan kedua makhluk ini sejatinya tidak ada perbedaan dihadapan Allah SWT. Hanya kualitas ketaqwaan keduanya saja yang membedakan keduanya dihadapan Tuhan yang maha adil itu. Selain itu, menurut Lia Aliyah Al Himmah, pemahaman seperti diatas, menyisakan kepiluan tersendiri bagi kaum perempuan. Dan, bisa berkembang atau dikembangkan menjadi pandangan yang inferior, diskriminatif, dan misoginis bahwa seolah-olah perempuan adalah setengah manusia berjenis laki-laki, posisi dan kualitas perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki dan perempuan kurang dipercaya secara penuh dalam urusan apapun. Kerenanya kesaksian perempuan dihargai separuh laki-laki.<br></br><b>Keadaan Perempuan</b><br></br>Pada masa ayat 282 dari Al Baqarah itu turun, kondisi perempuan memang sangat memprihatinkan. Ditengah kuatnya budaya yang mengandalkan kekuatan laki-laki, mayoritas kaum perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan hanya bisa berperan dalam urusan domestik, tidak ada yang menjadi pemimpin publik, setiap keluar rumah harus didampingi mahramnya, tidak berpendidikan sebaik laki-laki, dan lainnya.<br></br>Dalam kondisi demikian, perempuan menjadi korban dalam sistem sosial yang secara jelas menjadikan mereka terbelenggu. Sehingga transformasi ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan menjadi terbatas dan kesempatan bergaul dengan dunia publik pun lebih sedikit dari pada laki-laki. Tak pelak, perempuan menjadi sangat inferior, tidak begitu diperhitungkan, dan semua statemen-statemen serta pengakuannya di nilai kurang berkualitas.<br></br>Melihat realitas latar belakang yang demikian, kesaksian perempuan yang perlu didampingi dengan perempuan lain lantas ditambah dengan kesaksian laki-laki, memang cukup rasional. Daya ilmu pengetahuan dan daya ingat mereka yang tidak diasah melalui dunia pendidikan menjadikan mereka kalah bersaing dengan laki-laki. Keunggulan laki-laki saat itu lah yang kemudian dijadikan bahan argumentasi para ulama' dalam banyak literatur tentang dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki. Selain itu, menurut syaikh Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani dalam <i>Fath al Qarib</i>, daya ingat perempuan dinilai lemah dan sering lupa. Argumentasi ini berdasarkan petikan ayat 282 surat Al Baqarah yang berbunyi <i>"an tadhilla ihdahuma fa tudzakkira ihdahuma al-ukhra"</i> (supaya jika seorang saksi [perempuan] lupa, maka seorang lagi [perempuan yang lain] mengingatkannya).<br></br>Begitu juga dengan argumentasi madzab Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka beralasan bahwa dalam diri perempuan lebih dominan sifat lemah lembut, terbatasnya ingatan, dan ketiadaan kekuasaan perempuan atas "sesuatu". Tidak jauh berbeda, Jalal al Din Muhammad ibn Ahmad al Mahalli dan Jalal al Din Abdu al Rahman ibn Abi Bakr al Suyuthi beralasan seperti yang tertulis dalam Tafsir al Jalalain. Menurut keduanya, perempuan tidak memiliki kemampuan dalam memerintah dan tidak diakui dalam kasus-kasus kriminal.<br></br>Bertolak dengan realitas latar belakang perempuan masa lalu, kini banyak perempuan yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan bahkan tak jarang menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Sehingga, ketetapan yang berdasarkan argumentasi seperti diatas perlu dikaji ulang. Sudah tidak selayaknya lagi ketetapan itu menyisakan pembedaan kiprah antara perempuan dan laki-laki. Dan, setidaknya, kesempatan bagi perempuan untuk menjadi saksi dalam pernikahan, perceraian, dan hudud, perlu didiskusikan lebih lanjut. Tentunya, terkait dengan keadaan perempuan yang kini telah menapaki perbedaan dari pada belasan abad yang lalu. Begitu juga dengan nilai kesaksian perempuan yang hingga kini masih banyak yang menghargai separoh dari kesaksian laki-laki.<br></br>Memang, melihat realitas yang terjadi di republik ini, secara formal dalam kasus-kasus tertentu ada yang telah menerima kesaksian perempuan. Semisal, kasus pelecehan seksual yang pernah dilakukan beberapa anggota militer pada perempuan-perempuan dia Aceh. Pasca peristiwa ironis itu, pengakuan dan kesaksian beberapa korban dapat diterima oleh pihak berwenang. Namun, berbeda ketika "transaksi" ijab qobul dalam pernikahan berprosedur Islam, di negara ini masih saja memilih pihak laki-laki dari pada pererempuan.<br></br>Perempuan juga manusia layaknya seorang laki-laki. Di dunia ini, keduanya ditakdirkan untuk bermitra dalam meniti ridla-Nya. Dan, berlomba-lomba dalam mencari kebaikan -seperti yang diperintahkan Al Qur'an, bukan hanya diperuntukkan kaum Adam. Kaum Hawa juga manusia yang berkesempatan.[<b>Muhammad Ghannoe</b>]***</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-52804494069292188632011-12-26T07:39:00.000-08:002011-12-26T07:44:28.556-08:00Perdamaian Global Ala Islam<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJiZnBtn4NsaqsKSWn9s9LVJaB1Mj4h7KdeU99fRitLHgk_LsuqLno3UJVt16Fz1r-lxwqQogGvtMHZwnXkU-RD4IP8NiXclivHPkELiA5rz3aaT_M11BlQ3gcDOwJx-HXu66kM4Zcesk/s1600/Islam+Bisa+Kok.JPG" alt="resensi buku, buku, Perdamaian Global Ala Islam, damai islam, pusham uii" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Islam Bisa Kok Mendamaikan Konflik!</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Tim Pusham UII</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">PusHAM UII, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I (pertama) 2009</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">xiii + 108 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table>Dalam setiap sejarah perjalanan umat manusia, seseorang tidak pernah lepas dari suatu permasalahan. Baik permasalahan dalam diri sendiri maupun permasalahan yang berjalin kelindan dengan orang lain atau pemerintahan setempat. Namun, jika ditelusuri dari garis struktural, permasalah-permasalah itu lebih tampak atau meletup dari luar (eksternal) diri setiap orang yang memiliki masalah.<br></br><div class="fullpost">Dalam konteks ini, Karl Marx pernah menengarahi permasalahan masyarakat dengan pendapatnya bahwa dalam setiap masyarakat terdapat dua lapisan kelas yang saling membedakan dan berbenturan, yaitu masyarakat lapisan atas dan lapisan bawah. Meski tampak meng-counter Marx, Ralf Dahrendorf juga mengakuinya dengan menambahkan adanya lapisan menengah yang berada di antara lapisan atas dan bawah sebagaimana pendapat Marx tadi.<br></br>Terlepas dari klasifikasi tersebut, menurut buku ini, permasalahan-permasalahan dalam setiap masyarakat lebih dipicu oleh perbedaan perspektif dan persepsi tiap-tiap individu yang bermuara pada ketegangan dan perselisihan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama timbulnya konflik. Kemunculan konflik itu sendiri lebih disebabkan adanya hasrat kompetisi di antara manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam (SDA), merebutkan kekuasaan, dan status.<br></br>Tidak jarang dalam memperebutkan nilai, kekuasaan, dan SDA, pelbagai pihak tidak mau mengafirmasi motif dan tujuan kelompok lain. Misal saja, aspirasi penegakkan syariat Islam dan penutupan tempat-tempat maksiat, kerap kali ditentang oleh kelompok lain. Dari sinilah salah satu celah terbukanya pintu yang menampakkan wajah-wajah konflik yang ‘angker’.<br></br><b>Fase Konflik</b><br></br>Konflik dalam setiap bangsa-negara (nation-state), bereskalasi melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan itu, setidaknya, dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap. <i>Pertama</i>, konflik tidak langsung atau laten. Dalam tahapan ini, konflik telah terjadi di antara manusia namun tidak terekspresikan. Selain itu, konflik laten juga bisa terjadi ketika negara mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat atau umat islam. Namun, masyarakat hanya bersikap diam dan tidak melakukan apa-pa.<br></br><i>Kedua,</i> konflik terbuka, yang mana pihak-pihak berkonflik mulai berani mengekspresikan ketidaksetujuannya dan berujung pada perselisihan. Dalam isu RUU Pornografi beberapa waktu yang lalu, misalnya, para aktivis Islam mulai melakukan kampanye dan demonstrasi. Mereka mendukung adanya UU Pornografi yang kemudian ditolak oleh berbagai kalompok lain.<br></br><i>Ketiga,</i> eskalasi dan perebutan kekuasaan. Pada fase ini, tensionalitas konflik mulai meruncing sedangkan pihak yang berselisih mulai menunggang kekuasaan masing-masing yang dilengkapi dengan intrik-intrik politik tertentu. Tentunya hal itu bertujuan saling mengafirmasi kelemahan bahkan mengultimatum pihak lain. Dan <i>keempat</i>, adalah tahapan puncak yang sering menyisakan aksi kekerasan. Pada titik makskimum ini, pihak penentang mulai berfikir bagaimana mengeliminasi pihak yang lain. Selain itu, kekerasan yang muncul tidak lagi berlangsung secara fisik saja, melainkan dengan cara struktural, kultural, dan simbolik. Semisal, dengan melibatkan media massa untuk menanamkan stigma yang buruk kepada lawan-lawanya. Biasanya, salah satu pihak mendapatkan “legitimasi” dari negara untuk mendukung cita-citanya.</br><br><b>Mengatasi Konflik</b><br></br>Beberapa cara dalam menyelesaikan konflik atau sengketa, yang sering kita temukan adalah negosiasi, litigasi, arbitrasi dan mediasi. Dalam negosiasi, para pihak atau wakilnya (negosiator) berusaha melakukan penyelesaian sengketa di antara mereka tanpa melibatkan pihak luar. Bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum formal di pengadilan adalah litigasi. Sedangkan arbitrasi, para pihak yang menginginkan adanya penyelesaian konflik melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang secara aktif terlibat dalam menentukan proses penyelasaian masalah dan kesepakatan akhir. Berbeda dengan arbitrasi, mediasi melibatkan pihak ketiga (mediator) yang dipilih secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak bertanggungjawab untuk secara aktif mencapai kesepakatan dengan difasilitasi oleh mediator.<br></br>Jika dibandingkan dengan yang lain, upaya penyelesaian konflik melalui mediasi memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, proses penyelesaian relatif lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mediasi juga banyak dipilih karena tidak jarang menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak tanpa ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’ (hlm.80). Ini berbeda dengan aksi-aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak di Indonesia. Meskipun proses penyampaian aspirasi dalam unjuk rasa itu diwarnai proses perundingan, sering kali mengalpakan mediator. Sehingga, perundingan antara wakil-wakil kedua belah pihak sering menemukan jalan buntu akibat mempertahankan ego, perspektif, dan persepsi masing-masing.<br></br>Dalam sejarah Islam, proses penyelesaian konflik dengan metode mediasi, juga pernah terbukti. Tepatnya pada masa renovasi Ka’bah oleh suku Quraisy pasca diserang banjir besar yang turun dari gunung. Dalam proses renovasi itu, muncul sebuah konflik antara ketua-ketua kabilah yang nyaris memakan korban jiwa di antara mereka. Adapun sumber konflik itu hanya memperebutkan kesempatan untuk meletakkan kembali sebuah batu hitam (hajar aswad) pada tempatnya yang telah dibersihkan dan disucikan.<br></br>Oleh para kabilah, akhirnya sepakat menunjuk siapapun yang berhasil memasuki pintu shafa pertama kali, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tatkala mereka mengetahui bahwa Muhammad-lah yang berhasil, mereka pun menantikan keputusan yang ditunggu-tunggu itu. Tanpa diduga mereka sebelumnya, Muhammad yang dipercaya sebagai orang yang jujur itu meminta sehelai kain. Di atas kain itu pula, Muhammad mengambil hajar aswad dan diletakkan di atas kain tersebut. Para ketua kabilah pun diundangnya untuk memegang tiap ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama hingga mendekati bibir tempat batu suci itu. Selanjutnya, batu itu diangkat dan diletakkan oleh Muhammad pada tempat semula. Dan, perselisihan yang hampir menjadi sumber perang saudara itu pun terhindarkan karena para ketua kabilah merasa tidak ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’.<br></br>Secara umum, buku ini menginspirasikan pembaca untuk menyikapi berbagai macam konflik yang ada, dengan sikap yang dewasa, bijaksana, tanpa merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Baik secara struktural, kultural, maupun simbolik. Minimal, dampak negatif dari adanya konflik perlu diminamalisir sekaligus mengupayakan terjaganya perdamaian dan kenyamanan global. Adapun salah satu inspirasi itu terpancar dari khazanah Islam dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan.[<b>Muhammad Ghannoe</b>]***</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-27334025090305150992011-12-22T09:06:00.000-08:002011-12-22T09:26:02.911-08:00Memadukan Batik Nusantara<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIcHdSfGJuKfIc4eZ1-mZKzEFqHt6xgplGAqysOwzef8r75y-Xo_nhWXOjwT14ujAjjspBjBEZl0eMrW-KNTlxf9G1x4IgFMhyphenhyphenhxormGHMOwS1HMq3DPBlEudJ7y13d8e8SfrKEeUlBFQ/s320/Padu+Padan+Batik.jpeg" alt="batik, memadukan, gaya," border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Padu Padan Batik</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Biliq Ratna & Friend</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Wisma Hijau, Depok</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I, 2009</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">58 Halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table>Buku ini merupakan salah satu apresiasi penulisnya dalam menyikapi produk batik khas Indonesia. Selain itu, juga sebagai kampanye positif agar bangsa Indonesia lebih mencintai dan memakai budaya produk dalam negeri. Sehingga tanggal 2 Oktober yang telah disepakati sebagai Hari Batik Nasional itu tidak sia-sia lantaran bangsa ini memakai batik sebagai salah satu koleksi mereka. Baik dalam bentuk pakaian secara sempurna maupun sebagai tampilan asesoris lainnya.<br></br><div class="fullpost">Batik, menurut buku ini, merupakan salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan tempo doeloe (masa lampau), misalnya, menjadikan ketrampilan membatik sebagai mata pencaharian. Tidak salah jika pekerjaan membatik waktu itu sempat dianggap sebagai pekerjaan eksklusif. Namun, setelah ditemukannya “batik cap”, pekerjaan membatik tidak lagi didominasi oleh perempuan. Kaum laki-laki pun turut serta berkecimpung dalam usaha perbatikan (hlm.6). Menurut Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo, batik Indonesia sebenarnya sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit. Hanya saja, bahan utama batik waktu itu banyak di datangkan dari China.<br></br><table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td valign="top" width="60%" align="left">Baik bahan dasar maupun kedatangan bangsa asing ke nusantara, lambat laun menambah banyaknya corak baru pada batik yang beredar di nusantara. Warna-warna cerah, (seperti merah) dan corak phoenix dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Tionghoa. Begitu juga corak </td><td font="#D4A017" valign="top" width="35%" align="left"><i><h2>" buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara "</h2></i></td></tr></tbody></table>bebungaan (seperti bunga tulip), bangunan gedung, dan kereta kuda, dipengaruhi oleh bangsa Eropa. Meski begitu, bangsa pribumi tetap konsisten dengan batik tradisional mereka yang mempertahankan kekhasannya.<br></br>Seiring perkembangan zaman, batik yang semula identik dengan kaum bangsawan kerajaan, lambat laun mulai memasyarakat. Terlebih, perkembangan strategi produksi dan aneka inovasi batik yang beragam semakin mendukung generasi bangsa ini untuk memakai batik. Di berbagai pasaran batik, misalnya, dapat kita jumpai aneka motif batik tradisional yang dikomposisi ulang dengan corak-corak ringan. Corak seperti inilah yang kemudian memungkinkan semua kalangan dapat memakainya tanpa kesan tua, kuno, atau kesan-kesan penghambat lainnya.<br></br>Selain mengulas aneka ragam batik zaman dulu hingga sekarang, buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara. Dalam penggunaan batik, misalnya, buku ini memberikan tips agar si pemakai tidak terkesan canggung, aneh, atau diledek orang lain. Adapun tips itu salah satunya bisa dengan memadukan batik dengan kondisi fisik si pemakai atau menggabungkan motif-motif batik tertentu dengan motif batik lainnya. Motif batik tradisional yang atraktif, misalnya, dapat dipadu dengan motif batik konvensional seperti motif sogan. Motif batik itu sendiri juga dapat dipadukan dengan motif-motif kain modern, seperti garis, kotak, dan bunga. Namun, semua itu hanyalah alternatif yang ditawarkan buku ini. Pembaca bebas memadukan motif-motif lainnya sesuai selera tanpa membenci dan menjahui batik.<br></br>Berbagai tips seputar pakaian batik dan sejarah singkat perkembangan batik nusantara itulah yang dibahas dalam buku ini. Selain design dan lay-out buku ini terkesan santai, foto-foto yang ada di dalamnya juga memberikan inspirasi tersendiri bagi pembaca. Selamat membaca dan bergaya dengan batik nusantara [<b>MG. Sungatno/CABC</b>].</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-27452242148035971362011-11-09T00:30:00.000-08:002011-11-09T02:49:25.975-08:00Sejarah sebagai Proses<table align="center" border="0" cellpadding="" width="100%"><br /><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" align="center" valign="top"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBqIGdoPjldnMm1DGUusy1Iq99gvu9E_za7kSU1Dc8Kq9IhO6dv4HMjHjXFHPY1IvEojVwINHpRShyphenhyphenAS7mWpdCKWjz96CALM435KJDklsYbtORem9LfkB3OHrWTmFY7brB6TwVtwAta8U/s320/Membaca_Sejarah_Nusantara.jpg" border="0" alt="KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Buku-buku GusDur"></img></td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="top" width="90"> Judul</td><td align="center" valign="top" width="20">:</td><td align="left" valign="top" width="270"><i>Membaca Sejarah Nusantara : 25 Kolom Sejarah Gus Dur</i></td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Penulis</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="middle" width="270">Abdurrahman Wahid</td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Pengantar</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="middle" width="270">KH. A. Mustofa Bisri</td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Penerbit</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="middle" width="270">LKiS, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Edisi</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="middle" width="270">Pertama, 2010</td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Tebal</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="middle" width="270">xx+133 halaman</td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="middle" width="90">Bab</td><td align="center" valign="middle" width="20">:</td><td align="left" valign="top" width="270"><i>Membaca Sejarah Lama (1)</i></td></tr><tr width="100%"><td align="left" valign="top" width="90">Halaman</td><td align="center" valign="top" width="20">:</td><td align="left" valign="top" width="270">1-4</td></tr></tbody></table><br><i>Membaca Sejarah Lama (1)</i> merupakan fragmen pertama yang tersajikan dalam buku ini. Kolom ini mengajak pembaca untuk memasuki kesejarahan bangsa Indonesia melalui gerbang utama. Gerbang pembacaan sejarah yang selama ini acapkali terhindari dan –bahkan- tak disadari keberadaannya.</br><br>Meski cenderung praktis bernuansa tip, tulisan yang satu ini merupakan salah satu kunci untuk membongkar nilai-nilai sejarah yang tersaji maupun yang termanipulasi. Nilai-nilai itulah yang seyogyanya dijadikan pemantik pembaca untuk mengekpresikan pesan-pesan sejarah. Sejarah bukanlah produk penjabar, pengukuh, penolak, penghias, penyemangat, penjejal, dan perecok belaka. Melainkan juga sesuatu yang terlekati arti-arti dan nilai-nilai pasif.</br><br><div class="fullpost"> Baik arti maupun nilai-nilai pasif itu sendiri hanya bisa diaktifasi dan direaktifasi melalui kesadaran akan pembacaan sejarah sebagai sebuah proses (hlm.4). Tanpa kesadaran itu penyimak sejarah bakal cenderung menjadi pasif dan memperparah kepasifan sejarah. Dikatakan memperparah karena dalam sejarah juga terdapat kepasifan dibalik tuturan yang seolah-olah aktif. Dan, kepasifan itu akan tampak jelas ketika sejarah terbuktikan ketergantungannya pada penyimak dan pengguna.</br><table align="center" border="0" cellpadding="" width="100%"><tbody><td align="left" valign="top" width="60%">Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi. Perbedaan itu justru bakal digunakan sebagai bahan pemerkaya wawasan dan analisis yang memungkinkan penyimak bisa selamat dari kungkungan frame-frame tertentu. Luasnya wawasan dan analisis itu, kemudian, dijadikan sebagai pijakan untuk menilai suatu sejarah dan mengekspresikan pesan-pesannya di masa mendatang secara luas.</td><td align="left" valign="top" width="35%" font="#D4A017"><i><h2>" Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi "</h2></i></td></tr></tbody></table><br>Penyimak semacam itulah yang nantinya bisa dikategorikan sebagai penyimak aktif yang mampu menggunakan pengetahuan sejarah. Mereka tidak hanya mampu menggunakan sejarah sebatas simbol-simbol keluhuran-kebiadaban dan solusi temporal-dangkal. Para orang tua tidak hanya akan menjadikan sejarah sebagai dongeng sebelum tidur bagi putera-puterinya belaka. Melainkan turut aktif dalam menjabarkan nilai-nilai positif-negatif yang musti diketahui buah hati mereka berikut penerapannya terkini.</br><br>Selain itu, ada juga penyimak pasif yang mempergunakan sejarah sebagai kenangan lawas semata. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang kuno, tak bermakna, dan hanya bisa dimanfaatkan sebagai pelipur atau pengalih kenangan. Sejarah menjadi sebatas dongeng faktual yang menyadarkan ingatan mereka bahwa di zaman dulu pernah terjadi suatu peristiwa atau kehidupan. Sejarah akan dijadikan sebagai bahan pencari solusi sesaat yang sifatnya temporal-dangkal. Semisal, untuk menjawab soal-soal ujian sekolah atau kuliah.</br><br>Lebih mengerikan lagi, ada juga penyimak yang menempatkan sejarah sebagai penjegal masa kini dan masa depan. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar lampau dan tidak bisa ditiru ulang atau diambil pelajarannya. Sejarah dianggap sesuatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang positif, konstruktif, dan berharga. Yang ada hanya dongeng karikatural. Tampak lucu jika dibaca ulang di zaman sekarang.*** <b>[MG. Sungatno/CABC]</b></br></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-92138694145683944362011-11-08T23:21:00.000-08:002011-11-08T23:31:49.369-08:00Telusur Sejarah Wayang<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:text; width: 280px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJdEshrNFY71M-zUjU43nHc_4TGSzkOdoDIqSVMxQRqlbtd9QGsJnexf0lRZxzXvI-PzvNDZuYGfWfs7Mox7qXsZqgEKujEqrDlzM-xTC17y_8HLhyphenhyphenpPkGTtN1PicVwsIjaVm5I9fZPG8/s400/sejarah_wayang.jpg" border="0" alt="wayang,sejarah,arjuna,nakula,sadewa,wayang golek, wong, potehi, china, asal-usul,jenis-jenis, ciri-ciri,ketoprak"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5672894336455483298" />Judul Buku : <i>Sejarah Wayang : Asal-Usul, Jenis, dan Cirinya</i><br></br>Penulis : Amir Mertosedono SH<br></br>Penerbit : Dahara Prize, Semarang<br></br>Cetakan : ke-3, 1993<br></br>Tebal : 116 halaman<br></br><br />Nampaknya, akhir-akhir ini para generasi muda Indonesia kurang berminat dan manaruh respek terhadap kebudayaan sendiri. Ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian dan kegemaran mereka terhadap kebudayaan wayang. Padahal, wayang merupakan hasil kebudayaan asli bangsa Indonesia.<br></br>Demikian disampaikan Amir Mertosedono SH di dalam lembaran kata pengantar buku yang berjudul Sejarah Wayang; Asal-Usul, Jenis, dan Cirinya ini. ”Sebagai hasil kreasi bangsa, wayang memiliki banyak peran di dalam kehidupan masyarakat. Baik sebagai media hiburan, pendidikan maupun sarana penyampaian informasi,” tambahnya.<br></br><div class="fullpost"> Sangat patut disayangkan, lanjut Amir Mertosedono, bila kebudayaan sendiri akan terabaikan karena pengaruh unsur-unsur budaya asing. Sudah banyak orang-orang Amerika dan Eropa yang berdatangan ke Indonesia hanya untuk belajar dan memperdalam pengetahuan seputar wayang. Sangat ironis, kemudian, jika bangsa Indonesia malahan akrab dengan budaya asing namun asing dengan budaya sendiri.<br></br>Melalui buku ini, Amir Mertosedono berbagi pengetahuan seputar wayang yang jenisnya beraneka ragam itu. Ada Wayang Purwa, Wayang Gedhog, Wayang Klithik, Wayang Golek, Wayang Topeng, Wayang Wong (Wayang Orang), dan Wayang Beber. Ada juga Wayang China (Wayang Tithi atau Wayang Potehi), Wayang Klitik (Wayang Krucil), Wayang Kulit dan Wayang Madya. Selain itu juga ada Wayang Wong, Bedhaya Srimpi, Gambyong, Wireng, Pethilan, Bondhan, Golek, Langenwanara, Pranasmara, Topeng, Lerok, Ludruk, Kethoprak (Ketoprak), dan Ludruk.<br></br>Pada bab Sejarah Wayang, Amir Mertosedono, memaparkan asal-usul, silsilah, pengertian, dan jenis-jenis wayang. Dari sini terdapat kesimpulan yang syarat rujukan bahwa wayang adalah produk budaya asli bangsa Indonesia. Wayang telah ada dan pernah dipertunjukkan pada zaman kejayaan Kerajaan Kediri yang bertepatan pada zaman pemerintahan Raja Erlangga di awal abad ke-11. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa wayang telah ada pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Mamonang pada tahun 930. <br></br>Terlepas dari perbedaan tahun munculnya wayang pertama kali, wayang tetaplah wayang yang embrionya berasal dari leluhur bangsa Indonesia. Salah satu buktinya yang paling mudah adalah bahasa yang tergunakan dalam wayang. Bahasa Jawa, misalnya, merupakan bahasa asli masyarakat Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam pagelaran Wayang Kulit. Ia bukanlah bahasa bahasa India ataupun Yunani. <br></br>Memasuki bab Sifat dan Ciri-Ciri Wayang, pembaca bakal menemukan bahasan sifat-sifat wayang dan karakter atau watak tokoh-tokoh dalam pewayangan. Menurut Amir Mertosedono, sebagimana kutipannya terhadap hipotesis Dr. Hazeu, wayang di Jawa (dan di Indonesia pada umumnya) bersifat khusus dan tidak hanya berkutat pada unsur-unsur hiburan belaka. Namun juga memiliki ajaran-ajaran dan makna-makna kehidupan yang dilatari oleh suatu keyakinan (agama).<br></br>Di lembaran-lembaran yang lain, bab ini juga menyampaikan bahasan watak-watak yang diperankan oleh 30 tokoh. Di antaranya adalah putera ketiganya Dewi Kunthi yang bernama Arjuna. Sosok yang dalam cerita Mahabharatayudha berhasil menyelesaikan amukan Karna itu memiliki watak tenang dan halus. Berbeda jauh dengan Dursasana yang dalam menjalani takdir perannya sebagai sosok yang kasar dan brangasan itu (hlm.63).<br></br>Selain bahasan tentang asal-usul, jenis, dan ciri-ciri wayang, buku ini juga menghadirkan kajian lainnya secara mendalam. Mulai dari peralatan dan perlengkapan yang ada dalam setiap pagelaran wayang hingga kilasan cerita-cerita wayang. Semua itu disajikan Amir Mertosedono dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan sesekali melibatkan istilah-istilah Jawa. [MG. Sungatno/CABC]<br /></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-50151918889816073262011-08-02T13:07:00.000-07:002011-11-09T00:35:43.778-08:00Nama Saya SBY<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:text; width: 226px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVHjj1vQN7P7KpxFoK1TnOmUIZxOJauOpWdAIRCE5pjQvMk7ahTn983hfVMhpxNfo3Mzv1rJBNHUf-fuerBbcs2qBiuGyu7kHpxz5xqM-CFIv2tHqfMQHDXxezFwEITWU7YcXTr9eRDzg/s320/merapi+tak+pernah+ingkari+monarki_1.jpg" border="0" alt="humor, cerita lucu, humor politik, merapi, yogyakarta, jakarta, sby"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5672911458025741138" /><br />Judul Buku : Merapi Tak Pernah Ingkari Monarki : Kumpulan Humor tentang Gunung Merapi dan Keistimewaan Yogyakarta<br />Editor : Tri Agus S. Siswowiharjo<br />Penerbit : PSM Yogyakarta, GERAM, dan Barak Jinem<br />Cetakan : Pertama, 2011<br />Tebal : xi + 71 halaman<br /><br /><right><i>”Nama saya SBY. Jabatan Saya Presiden Republik Indonesia ke-6; hasil Pemilu 2004 dan pemilu 2009. Saya bukan Capres tahun 2014. Istri, saya ulangi, Istri dan anak-anak saya, juga tidak akan mencalonkan; jadi presiden 2014. Saat ini, saya, juga tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi Capres 2014. Biarlah rakyat dan Demokarasi yang berbicara pada tahun 2014 mendatang”.</i></right><br /><br />Tepuk tangan dan senyuman hadirin Indonesian Young Leader Forum 2011 pun mulai reda. Minimal, tidak sekompak saat sosok yang mengenalkan diri dengan nama SBY itu mengawali momen perkenalan diri (9/6). Saat itu ada meriahnya tepuk tangan, senyum agak lebar, dan tawa-tawa pelan namun licin. Para hadirin seolah menemukan suasana baru yang lucu, sosok homoris, dan hal-hal janggal lainnya dari arah depan pandangan mereka. Ntahlah.<div class="fullpost"><br /><br />Tapi, adakah KTP warga Indonesia yang bertuliskan SBY belaka di belakang form namanya? Siapakah SBY itu? Dan juga, benarkah kata SBY merupakan akronim yang menjelma dari Susilo Bambang Yudhoyono saja?<br /><br />Tentu tidak. Masih banyak SBY-SBY yang bukan berasal dari Susilo Bambang Yudhoyono. ”Sumber Bencana Yogya” pun bisa disusutkan menjadi SBY sebagaimana dalam kumpulan humor ini. Atau juga ”Sengsoro Banget Yo” (sengsara sekali ya). Lebih ngeri lagi, ”Soyo Bubrah Yo” (semakin berantakan ya) [hlm. 64].<br />Tiga versi kepanjangan dari urutan S, B, dan Y itulah yang tampak jelas dalam kutipan bernada plesetan negatif melengkapi buku ini. Namun demikian, potensi munculnya plesetan-plesetan lainnya tidak bisa ditebak kapan lagi munculnya. Yang jelas, masyarakat Yogyakarta terbukti berbakat dalam kreasi singkat-menyingkat dan memperpanjang kata atau susunan huruf.<br />Dalam keadaan adem ayem saja, misalnya, banyak nama-nama jalan di sini yang lebih akrab di sebut dengan singkatannya. Bukan dengan nama asli atau resminya dalam formalitas peta Yogyakararta. Lantas, bagaimana jika Wong Jogja merasa hatinya tak nyaman lagi saat keistimewaan Jogjakarta diusik dawuh dari Istana Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) di Jakarta? Kenyataannya; sempat berkibar spanduk-spanduk demonstran bertulis singkatan-singkatan dan atau kepanjangan suatu kata/huruf. Tak terkecuali pada sebuah nama yang lebih terhormat dan bercitra merakyat jika pemiliknya dipanggil Bapak eS, Be, Ye itu.<br /><br />Kreatifitas membelak-belokkan, memplesetkan, memperpanjang dan menyingkat susunan kata semacam itu sebenarnya sudah lama dilakoni masyarakat Jogja dan daerah-daerah lain di kawasan Indonesia. Jauh sebelum Bapak SBY menjabat sebagai presiden Indonesia, dapat kita baca ulang dalam sejarah perjalanan Indonesia berikut permainan kata yang ada. Lihat saja, misalnya, istilah Supersemar, Gestapu, Gestok, dan masih banyak lagi tentunya. Hanya saja, tindakan semacam ini tidak jauh dari tujuan tertentu. Entah sebagai mediator untuk mempermudah penyebutan nama, propaganda politik maupun sekedar tindakan mengkonotasikan sesuatu pada hal-hal spesifik.<br /><br />Dalam konteks ini, cukup menarik adanya kesimpulan yang sempat muncul dari Jean-Luc Maurer, Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED) Jenewa, Swiss. Menurut beliau, masyarakat Indonesia berbakat dalam membuat akronim. Caranya dengan menempatkan beberapa suku kata yang diambil dari kata-kata yang telah dipisah-pisahkan ke dalam bagian-bagian yang sudah diurutkan secara berdampingan (hlm. 64). Adapun akronim-akronim yang terkesan lucu dan bermain kata-kata itu lebih difungsikan sebagai sebagai Protes Politik di Indonesia.<br /><br />Tak terkecuali akronim-akronim dan susunan kata-kata dalam buku tipis ini. Kata-kata yang semula tampak biasa, setelah tersusun, tercerita, dan tersirat suasana tertentu, berubah pula menjadi lucu. Dan, persis pula dengan apa yang ditengarahi Maurer bahwa ini semua tidak kering dari suasana protes-protes tertentu yang bernuansa politis. Hanya saja, nuansa politis itu tidak serta merta tampak dalam jilatan-jilatan politik sebagaimana panas dan gersangnya perdebatan sekaligus penyangkalan demi suatu tujuan. Melainkan muncul dalam ragam bahasan dan sindiran yang terkadang sama sekali terasa tidak lucu. Khususnya bagi pembaca yang jauh dari pemahaman situasi, kondisi, dan informasi -khusus maupun umum- yang melatari terjadinya kelucuan cerita.<br /><br />Dengan begitu, dibarenginya kumpulan humor ini dengan kata pengantar, prolog, dan epilog, merupakan nilai lebih dari buku ini dalam usaha menangkal terjadinya perbedaan anggapan lucu atau tidaknya cerita. [Muhammad Ghannoe/cabc]</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-86851404850500262009-07-27T08:27:00.000-07:002011-12-26T08:34:06.788-08:00Ketika Jawa Terendam Darah<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhW5e97Yk-HAwHet7D9HLk0iOQLX_ex0SZJhoKV0FwQqhw5T_uhcloGPTARO2PDImQHZmtgOxOEkhLWLfidSiPd5-PcWNa61CqjKMFgr7t0nHHPVcFxnclxiSUU7uhC_8obvN9Cp0X6usU/s1600/jawa.jpg" alt="resensi buku, buku, Ken Dedes, Tunggul Ametung, Ken Arok, Brahmana Gajah Para, Ken Ndok="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Konflik Berdarah di Tanah Jawa</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Raka Revolta</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Bio Pustaka</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">2009</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">viii + 152 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br />Tanyakan pada Ken Dedes, siapakah pembunuh akuwu Tunggul Ametung? Jawabnya: Ken Arok! Anak hasil hubungan gelap Brahmana Gajah Para dengan Ken Ndok itulah yang menjadikan Anusapati yatim sejak dalam kandungan (hlm.5). <br></br><div class="fullpost">Kisah perjalanan Ken Arok, merupakan cerita “anak kuburan” yang berambisi pada harta, tahta (kekuasaan) dan wanita. Untuk memuja ambisinya, anak yang dipungut Lembong -pencuri yang kecolongan harta, itu semula tidak pernah hengkang dari judi, tidak segan membunuh, menipu, dan menjarah keperawanan serta istri orang. Janggan dan Ken Dedes, merupakan contoh perempuan yang menjadi korban nafsu seks Ken Arok.<br></br>Dari kisah Ken Arok ini, Raka Revolta mulai menelusuri jejak-jejak tragedi berdarah lainnya di tanah Jawadwipa. Konflik berdarah yang hadir dari jiwa-jiwa pemberontak sejak Raja Tumapel yang bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi itu dibeberkan Raka hingga pemberontakan Pangeran Diponegoro. Di atas tanah Jawa inilah darah-darah mereka muncrat, berceceran, membeku, lantas mencipta kekuasaan yang tak pernah abadi.<br></br>Ken Arok adalah seorang anak yang semasa banyi dibuang oleh orang tuanya di sebuah pemakaman (kuburan) yang sepi dari manusia. Ketika seorang pencuri, Lembong, melintasi makam itu merasa kaget dan kasihan terhadap bayi tersebut. Lembong pun memungut bayi itu dan diasuhnya hingga masa menginjak remaja. Sayang, akhirnya Lembong kecewa terhadap Ken Arok kecil yang mulai gemar berjudi. Karena terlalu lelah mengingatkan dan hartanya habis dijadikan taruhan Ken Arok, Lembong hanya putus asa dan mengusirnya. Ken Arok pun menggelandang hingga dijadikan anak angkat seorang bandar judi, Bango Samparan. Namun, meski kebutuhannya tercukupi, Ken Arok merasa tidak betah hidup bersama saudara-saudara dan ibu angkatnya.<br></br>Tanpa persetujuan Bango Samparan, Ken Arok pergi dari rumah dan bersahabat dengan Tita, anak Kades Siganggeng. Sejak menjalin persahabatan, Ken Arok mulai diajak belajar membaca dan menulis Tita di rumah Janggan. Sayang, kejadian naas menimpa Janggan: Ken Arok menjarah keperawanannya di suatu malam. Merasa tidak rela ditinggalkan Ken Arok akibat terusir dari rumah Janggan, Tita menyusul dan mengajaknya membuka perdukuhan di sebelah timur Siganggen. Bersama Tita, kenakalan Ken Arok justru semakin menjadi-jadi. Keduanya mulai berani merampok para pedagang yang melintasi jalan di dukuh tersebut dan tak jarang Ken Arok mengganggu perawan-perawan desa.<br></br>Meski kelakuannya dikecam pemerintah setempat, Ken Arok justu balik mendapat keberuntungan. Ia bertemu dan dilindungi Sang Brahmana dari India, Loh Gawe. Dari peristiwa ini, Akuwu (Camat) Tumapel Tunggul Ametung menggalkan rencananya untuk menangkap dan mengadili Ken Arok. Justru, Tunggul balik mengangkat Ken Arok menjadi pengawalnya.<br></br>Ironisnya, kebaikan hati Tunggul Ametung berbuntut pembunuhan terhadap dirinya. Dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok menikam Tunggul Ametung hingga wafat. Selanjutnya, janda Tunggul Ametung, Ken Dedes, diperistri Ken Arok sekaligus menobatkan dirinya sebagai Akuwu Tumapel.<br></br>Bencana pun berlanjut. Dibawah kendali Ken Arok, Tumapel menyatakan merdeka dari kekuasaan Kediri. Bersama prajurit Kerajaan Tumapel, Ken Arok menyerang Kerajaan Kediri dibawah raja Kertajaya. Dalam pertempuran, pasukan Kediri kalah dan Kertajaya tewas. Akhirnya, Kerajaan Kediri berbalik tunduk dalam berbagai perintah kerajaan Tumapel.<br></br>Kesuksesan Ken Arok dalam mewujudkan ambisinya, ternyata berbuntut pada ambisi putera Tunggul Ametung, Anusapati, untuk membalas dendam dan merebut tahta kepemimpinan di Tumapel. Gayung pun bersambut, Anusapati behasil memperoleh keris Mpu Gandring yang pernah digunakan Ken Arok. Dengan keris itu Anusapati melakukan siasat-siasat jitu yang akhirnya berhasil merenggut nyawa Ken Arok. Pasca peristwa ini, putera Ken Arok yang bernama Tohjaya juga berambisi tidak jauh berbeda dengan Anusapati. Dengan keris Mpu Gandring yang berhasil ditemukannya, Tohjaya memperdaya dan menjebak Anusapati dalam keadaan yang melenakan. Sehingga, tanpa disadari sebelumnya, Anusapati terpaksa menghembuskan nafas terakhirnya ketika ditusuk oleh Tohjaya dengan keris Mpu Gandring pula.<br></br>Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Tumapel (Singasari) pun menyisakan dendam kesumat di antara keturunan Ken Arok, Tunggul Ametung, Kertajasa (Raja Kediri yang dikalahkan Ken Arok). Mereka saling beradu strategi dan intrik-intrik politik lainnya, atas nama membalas dendam, perebutan kekuasaan, harta, dan perempuan. Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, kematian-kematian mulai susul-menyusul, baik raja, pemerintah, maupun rakyat kecil yang tidak mengerti akar permasalahan yang terjadi.<br></br>Dendam kesumat yang tersulut sejak kematian Tunggul Amtung tersebut tidak hanya berhenti dimasa kejayaan Singasari. Koflik berdarah selalu muncul hingga zaman Jawa Islam dan melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah (keturunan) dengan Ken Arok atau Tunggul Ametung. Selain itu, konflik yang menyisakan catatan kematian demi kematian itu menjalar hingga ke Makassar. Di atas tanah itulah Pangeran Diponegoro bersama keluarga dan pengikutnya dibuang oleh Belanda sebagai hukuman terhadap mereka yang memberontak. Sungguh menyedihkan.<br></br>Mungkinkah kisah sedih itu akan berlanjut di negara ini? Dapatkan pemilihan umum tahun ini bisa aman tanpa korban?. [<b>Sungatno/CABC</b>]***</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-91646931794255329332009-07-21T07:57:00.000-07:002011-12-26T08:07:24.152-08:00Lebih Baik Indonesia Tenggelam<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAmoJgxQ2MoE6QeYWypg29UCZQwc2gWuZkhMcOT0a0m9bibIO3onOCrIBaZgsFlniCnsbFEixdpFgJhAvrHpyutkY73a689YYlFZsyS69sX2sROCAArfv-GYMw2IdKAlD7dhfN7Dew8O8/s1600/Mohammad+Hatta.JPG" alt="resensi buku, buku, Mohammad Hatta, biografi, sejarah" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Mohammad Hatta; Biografi Singkat 1902-1980</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left"><b>Salman Alfarisi</b></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Garasi (Kelompok Penerbit Arruz), Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I (Pertama) 2009</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">242 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table>"…..<i>Bagi Pemoeda Indonesia, Ia lebih soeka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laoetan daripada mempoejaija sebagai d jadjahan orang kembali…"</i><br></br>Demikian kutipan pidato Bung Hatta di sebuah rapat umum di Lapangan Ikada Jakarta pada 8 Desember 1942. Waktu itu, Bung Hatta bersama Bung Sjahrir baru saja terbebas dari pencekalan Pemerintah Hindia Belanda yang kesekian kali. Dan, situasi keamanan internasional masih panas akibat meletusnya Perang Asia Timur Raya setahun sebelumnya.<br></br><div class="fullpost">Pasca pidato ‘garang’ itu, Bung Hatta menjadi buah bibir di kalangan pemoeda-pemoeda pada zamannya. Sengatannya mampu melepuhkan spirit mereka untuk tetap diakui sebagai pemoeda sejati Indonesia. Bukan pemoeda Indonesia jika lebih suka melihat Indonesia terjajah bangsa-bangsa serakah dan tak berperikemanusiaan. Lebih baik Indonesia tiada daripada terjajah untuk kesekian kalinya.<br></br>Buku ini, bukanlah tulisan Bung Hatta untuk mengenang perjalanan dan perjuangannya sendiri. Melainkan tulisan Salman Alfarisi yang mengajak bangsa ini untuk mengenang kehidupan dan perjuangan Proklamator RI itu. Terutama, ketika bangsa ini melakukan peringatan wafatnya Bung Hatta pada 14 Maret kemarin. Menurut penulis, Bung Hatta merupakan sosok founding father yang spirit perjuangannya terhadap bangsa ini perlu untuk kita renungkan kembali. Terlebih dalam menyikapi keadaan negeri yang masih “terjajah” ini. Sebab, hingga kini bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan harapan founding fathers secara sempurna. Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.<br></br>Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.<br></br>Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.<br></br>Pendidikan Hatta di mulai dari <i>Europese Lagere School</i> (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatta mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.<br></br>Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.<br></br>Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School, Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.<br></br>Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.<br></br>Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.<br></br>Pendidikan Hatta di mulai dari Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatat mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.<br></br>Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.<br></br>Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School atau Prins Hendrik School (Sekolah Menengah Dagang) di Batavia (Jakarta) dan tamat pada tahun 1921. Selama sekolah, Hatta muda mulai belajar mengarang dan menawarkan ke pada media massa waktu itu. “Namaku Hidania!, merupakan tulisan pertamanya yang di tayangkan majalah Jong Sumatera.<br></br>Setelah lulus dari Sekolah Menengah Dagang, Hatta melanjutkan pendidikannya di Netherland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda. Semasa di Negeri Kincir Angin ini, ia mulai mengenal lebih jauh pemikiran tokoh-tokoh dunia, semisal tokoh-tokoh pembaharu dan sosialis. Di negeri ini pula, jiwa nasionalisme-nya terhadap Indonesia mulai semakin mantap. Dengan bergabung organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), Hatta mulai berani menentang keberadaan kaum penjajah di nusantara. Akibatnya, Hatta sempat ditangkap dan diadili pemerintah Belanda karena dituduh melakukan aksi subversif. Meski demikian, pada 22 Maret 1928, ia terbebas dari segala tuduhan dan keluar dari penjara. Pada 5 Juli 1932, Hatta lulus dari Netherland Handelshogeschool, lantas pulang ke Tanah Air.<br></br>Sejak kepulangannya, Hatta mulai dihadapkan dengan realitas penjajahan yang terjadi di negeri ini. Melalui kaderisasi dan pendidikan ditengah kalangan pemuda serta berbagai organisasi, Hatta melancarkan aksi penentangan terhadap penjajah. Termasuk Jepang yang mengambil alih penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda sejak tahun 1942.<br></br>Dengan keaktifannya di berbagai organisasi dan menyalurkan gagasan-gagasannya di media massa, Hatta mulai dikenal luas bangsa ini. Bersama Soekarno, Hatta di tunjuk teman-teman mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehari setelahnya, ia diangkat secara aklamasi sebagai wakil presiden pertama RI. Sehingga, tantangan untuk berjuang demi rakyat semakin berat. Meski begitu, Hatta tetap bertahan dan menjunjung tinggi amanah yang telah diembannya.<br></br>Dua tahun kemudian, Soekarno menemui dan melamar Siti Rahmiati Rachim untuk Hatta. Perempuan asal Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat itu pun dinikahi Hatta pada tanggal 18 November 1945. Sayangnya, pada 1 Desember 1956, Hatta terpaksa mengundurkan diri dari jabatan yang diembannya. Hatta merasa tidak sejalan lagi dengan Soekarno dalam memimpin bangsa Indonesia. Meski demikian, hubungan persahabatan keduanya tampak baik-baik saja dan tidak ada permusuhan yang berarti diantara kedua. Hingga Soekarno wafat, Hatta masih tetap bersahabat. Hingga Hatta Wafat, Soekarno tidak pernah dihujat.<br></br>Kehadiran buku ini terasa tepat ketika bangsa ini melakukan refleksi terhadap pemikiran dan kehidupan Bung Hatta yang kewafatannya diperingati pada 14 Maret 2009 kemarin. Meski kurang lengkap, buku ini cukup jelas dalam menggambarkan perjuangan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta. Kebesaran nama dan gagasan-gagasan Bung Hatta mengingatkan pembaca untuk melanjutkan perjuangan itu.<br></br>Perjuangan tidak boleh selesai selagi kita tidak menginginkan Indonesia tenggelam diantara hiruk pikuk kemajuan zaman. [<b>Sungatno/CABC</b>]***</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-770143998540371912009-07-08T23:38:00.000-07:002011-12-11T03:25:08.690-08:00Antologi Resensi Buku Sastra<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiczDPa1Sho3cSZ79yn1bKjsJVtfSQ_-Aa8Op4nlx4Wl_iN3PqZMGtEDiACD_z7YzDpoH8NgwYU_-6T9ZF2bGmRMb2adZ7d8uyEvVDQXtG2UnMYRpTATltgLwrkNWjOdzvQBV65JTGJ5eg/s320/Seratus-Buku-Sastra-Indonesia_HITAM.jpg" alt="resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut di Baca Sebelum di Kuburkan</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">An. Ismanto dkk.</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I:Boekoe, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">1, 2009</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">1000 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br />Di antara buku-buku yang berjejer di rak sebuah Toko Buku di Yogyakarta, saya pernah tertarik pada sebuah buku dan langsung membelinya. Selain penulisnya terasa tidak asing bagi saya, judul buku dan catatan dalam endorsment-nya cukup memikat. Terlebih, ketika pihak toko tidak –atau mungkin lupa- menyediakan contoh buku itu yang bebas dari penjara plastik srink (plastik putih-bening).Sayangnya, setelah melihat-lihat isi yang ditawarkan penulis, minat untuk segera menenggak gagasan-gagasan yang ada tiba-tiba surut. <br></br>Tulisan-tulisan dalam buku itu pernah saya nikmati dari beberapa koran sebelum buku itu terbit. Di dalamnya, hanya kumpulan tulisan-tulisan penulis yang pernah dipublikasikan koran dan beberapa makalah yang pernah disampaikan dalam diskusi. “Kok, ngga’ sekalian resensi-resensinya hya..???”, gumamku tanpa berfikir panjang. Waktu itu saya langsung ingat dengan resensi-resensi penulis terhadap buku yang telah banyak dipublikasikan koran dan majalah.<br></br><div class="fullpost"> Kodifikasi tulisan-tulisan yang ‘tercecer’ menjadi buku memang memiliki nilai plus. Selain turut memeriahkan dunia literatur, nilai ekonomis pun segera bersanding ketika diterbitkan sekaligus dijual. Apalagi, ketika penerbitan karya-karya itu diberi embel-embel tulisan terbaik atau mendapat anugerah dari sebuah institusi atau komunitas tertentu yang memiliki daya tawar tinggi. Image penulispun segera terdongkrak seiring kesuksesan marketing dan informasi buku. Namun, proses pemasaran buku-buku semacam itu, akan terganjal ketika bertemu dengan pembaca yang tidak memiliki selera untuk mengulang-ulang bacaan yang ajek. Kecuali, bagi mereka yang lunglai dalam strategi pemasaran buku.<br></br><table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td valign="top" width="60%" align="left">Layaknya para peninjau buku, para penulis tak ubahnya para peresensi (reviewers) buku diberbagai koran, majalah, maupun media massa lainnya. Hanya saja, ada perbedaan antara peresensi di media-media itu dengan peresensi yang ada dalam buku ini. Tentunya, para peresensi di media massa tidak lepas dari aturan-aturan yang mengikat dan menyesuaikan karakter media dan segmen pembacanya. Hal ini tidak lepas dari maujudnya media massa yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan atau kekuasaan.</td><td font="#D4A017" valign="top" width="35%" align="left"><i><h2>" Dari sinilah terkadang muncul permasalahan yang berpotensi “menyimpang” dengan apa yang digagas penulis buku; melebihi atau mengurangi. "</h2></i></td></tr></tbody></table> Dalam konteks ini, terasa lumrah ketika ada lebih dari satu media menayangkan resensi buku yang sama namun dengan analisis dan kualitas peninjauan yang berbeda. Termasuk teknik penyampaian, gaya, dan pilihan kata yang digunakan sang peresensi dalam menyajikan apresiasinya terhadap suatu buku.<br></br><br />Kasus semacam ini juga sering muncul ketika terjadi ketidakseimbangan dalam mengapresiasi antara esensi yang terkandung dalam sang karya dengan teknik penulisannya. Begitu juga dengan luas atau piciknya sudut pandang yang digunakan peresensi akan berpengaruh dalam mengapresiasi. Jika kurang memahami isi dan konteks buku, sebuah buku akan mudah tervonis baik atau jelek, bersahabat atau berbahaya, dan gagal atau sukses dalam mencetuskan ide. Padahal, subjektifitas peresensi tersebut akan berpengaruh pada persepsi calon pembaca terhadap objektifitas sang karya. Sehingga, terasa maklum ketika fakta lapangan menjawab bahwa ada sejumlah buku yang dielu-elukan publik dan ada juga yang dibakar di depan umum sebagai reaksi yang tertumpah dengan cara berbeda.<br></br>Fakta-fakta semacam ini juga terjadi dalam perjalanan buku-buku sastra di Indonesia. Mulai ada yang ditarik dari peredaran, dilarang untuk diterbitkan, dipaksa untuk ganti cover, dicemooh habis-habisan secara “tidak sehat” oleh penulis lain atau publik, dibakar terang-terangan dengan motif pelecehan dan kasus-kasus yang lainnya. Reaksi-reaksi itu pun tidak jarang menyeret penulis buku untuk sekedar beradu fisik atau kekuatan hukum demi mempertahankan –memimjam istilah Pram- anak-anak ruhani mereka.<br></br><br />Dalam buku inilah, buku-buku sastra Indonesia itu dibingkai dan diulas para penulis dalam satu liang yang sama. Baik yang memiliki masa lalu dipuja-puja atau diinjak-injak, buku-buku itu memiliki nilai-nilai mulia yang patut untuk dikaji dan memiliki pengaruh terhadap cara kita nantinya dalam meneropong karya sastra bangsa ini ke depan. Namun, sebagaimana para penulis pada umumnya, para penulis dan editor buku ini juga memiliki persepsi yang subjektif, meskipun juga menggunakan pijakan-pijakan tertentu. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, subjektifitas mereka akan bersimpangan dengan persepsi pembaca. Untuk itu, tidak ada gunanya jika masalah relativitas dalam penilaian buku-buku itu menghalangi sampainya isi buku ini di ranah pengetahuan sastra pembaca.<br></br>Meski begitu, buku yang memiliki 1000 halaman ini tidak memiliki kesamaan seratus persen dengan fenomena di atas. Meski tampak mengulang tema pembahasan masa lalu, pembahasannya tidak serta merta mengambil alih kajian yang pernah terpublikasikan baik dalam media massa maupun buku. Walaupun masih ada yang menggunakan pisau analisis yang ‘sama’, dalam menyajikannya tampak memberi corak dan kesan yang cukup berbeda. Semisal, menggunakan pendekatan filsafat bahasa, konteks zaman, dan psikologi penulis.<br></br>Selain itu, jika dulu buku-buku itu dibedah dengan berkutat pada –meminjam istilah Goenawan Mohammad- sang karya atau sang penulisnya, dalam buku ini tampak lebih luas. Mulai dari sang karya, sang penulis, sang pembaca, hingga situasi zaman pada masa terbitnya sebuah buku. Begitu juga dengan efek yang ditimbulkan sang karya. Mulai dari jagat sastra Indonesia sendiri hingga publik secara umum, tidak luput dari sentuhan para penulis.<br></br><br /><b>MG. Sungatno</b><i>Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta</i><br /><br />Sumber : Batam Pos Edisi Minggu, 14 Juni 2009 </div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-25967851855645408852008-08-18T12:41:00.000-07:002011-12-11T03:09:23.385-08:00Memoar Sisa Supersemar<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" height="100px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDtlK8Ys2-8zDDuu8Ht-wGT1mtTl9ELnY5xCtkOQpX3sfiGm1ul52RBpSqlde6e3kbkjr_1xb5yoGl9KrU8s7oZas4l_NAKQJ0SlynGAzbEjw11SQ5lpiXoimZNcqYXD9TEgMMWLi2_o0/s320/Mereka+Menodong.jpg" alt="Soekarno, Wilardjito, Supersemar, Soeharto, Indonesia" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Mereka Menodong Bung Karno; Kesaksian Seorang Pengawal Presiden</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Soekardjo Wilardjito</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Galangpress, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">2008</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">354 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br /><br />Indonesia telah menutup usia kemerdekaannya yang ke-62. Kini, sejak 17 Agustus 2008 kemarin, negara ini mulai membuka lembaran baru di usia kemerdekaannya yang ke-63. Tentunya, dalam menapaki usianya yang tidak muda lagi ini terdapat beragam keinginan dari bangsanya. <div class="fullpost"><br></br> Kehidupan bangsa dan negara yang sukses adalah cita-cita yang selalu menggelora dan menggema diatas bumi nusantara ini. Untuk itu, tentunya bangsa ini perlu memandang masa depan dengan penuh cita-cita kesuksesan, merealisasikannya dalam sikap, tindakan, dan ucapan, serta tidak menafikan pelajaran dan pengalaman masa lalu. Dari sejarah masa lalu itulah, akan terpancar ribuan cahaya yang terpendar-pendar dan menuntun kita dalam bersikap, bertindak, dan berkata menuju kesuksesan yang kita idam-idamkan bersama.<br></br>Buku ini, merupakan literatur sebuah sekuel sejarah yang akan mengajak pembaca untuk membicarakan masa lalu Indonesia. Memang, membaca judul buku ini saja, pembaca akan mengetahui bahwa kita akan diajak membicarakan sosok mantan Presiden Soekarno. Tentunya, dalam buku ini, pembaca akan menemukan situasi intrik-intrik politik yang pernah dialami presiden pertama kita ini dalam rentang masa kepemimpinannya. Sedangkan Wilardjito, selain sebagai penulis buku ini, adalah sosok veteran TNI-AD yang pernah mendapat tugas penjagaan atas keselamatan Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari.<br></br>Dikisahkan, pada tanggal 10 Maret 1966, Pressiden Soekarno berada di istana Bogor. Malam itu, petugas yang menjaga keselamatan Presiden adalah Kolonel Sumirat. Setelah Soekarno masuk kamar dan hendak tidur, Sumirat pun mengundurkan diri. Selanjutnya, Wilardjito ganti melakukan penjagaan sekaligus mengontrol anak buahnya di lokasi Istana tersebut. Memasuki tanggal 11 Maret 1966 dini hari, ketika berada disekitar air mancur di depan Istana, Wilardjito bertemu dengan salah satu anggota Cakrabirawa yang hendak memberikan laporan.<br></br>Dalam laporan itu, Pelapor mengabarkan bahwa ada empat Jenderal yang berada di pos tunggu dan ingin menghadap Presiden. Mengetahui hal itu, Wilardjito segera menyuruh pelapor untuk menolak keinginan empat Jenderal dengan alasan Presiden sedang istirahat dan tidak boleh diganggu. Belum sempat keduanya berpisah, keempat Jenderal tersebut –Jenderal M. Yusuf, Amir Machmud, Basoeki Rachmat, dan M. Panggabean- mendatangi keduanya. Setelah keempat Jenderal itu menyampaikan kedatangannya, Wilardjito langsung menolak keinginan mereka. Namun, mendengar jawaban Wilardjito itu mereka segera "menyerang" dengan pembelaan bahwa maksud kedatangan mereka sangat penting dan mendesak.<br></br>Setelah melalui sebentar pertimbangan, Wilardjito menyetujui mereka. Keempat Jenderal itu diminta menunggu Presiden diruang kerja beliau. Sementara, Wilardjito segera menuju pintu kamar Soekarno dan memberitahukan hal itu. Sedangakan si pelapor, segera kembali ketempat tugasnya.<br></br>Seusai memberitahu kedatangan empat Jenderal kepada Soekarno, keenam orang pun bertemu dalam satu ruang; ruang kerja kepresidenan. Empat Jenderal pun segera mengutarakan maksud tujuan mereka yang diwakili Jenderal M. Yusuf. Kemudian, dari tangan Jenderal itu menyodorkan sebuah map warna merah jambu yang didalamnya terdapat sebuah surat perintah yang belum bertanda tangan. "Mohon Paduka menandatangani," pinta M. Yusuf sambil memandang Soekarno. Menurut Wilardjito, setelah membuka map itu Soekarno terlihat terkejut. "Lho, ini kok diktum militer, dan bukan diktum kepresidenan?", tanya Soekarno dengan nada kaget sambil memandangi keempat Jenderal tersebut (hlm. 159).<br></br>Memang benar, menurut penulis yang saat itu kebetulan berada dibelakang Presiden, surat perintah yang dibuat sepihak itu tidak terbubuhi lambang Garuda Pancasila dan Kop surat yang bertuliskan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Melainkan, dalam secarik surat itu terdapat Kop Markas Besar Angkatan Darat (Mabad) yang tertera di pojok kiri atas kertas. Mendapat pertanyaan ganas itu, keempat Jenderal hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban yang memuaskan. "Untuk merubah, waktunya sudah sangat sempit. Tanda tangani sajalah Paduka. Bismillah", jawaban Jenderal Basoeki menyelonong dalam kebekuan suasana sembari mencabut pistol FN 46 dari sarungnya dan diikuti Panggabean. Tak kalah cepat, Wilardjito yang bertanggung jawab atas keselamatan Presiden pada malam itu, dengan cepat mencabut pistolnya yang kemudian diarahkan kepada empat Jenderal tersebut.<br></br>Suasana menjadi tegang. Namun, melihat hal itu Soekarno segera melerai mereka dan menyepakati keinginan empat Jenderal untuk menandatangani surat tersebut. Sebagai gantinya, Soekarno meminta kepada mereka untuk segera mengembalikan surat itu setelah selesai digunakan.<br></br>Pada pukul 16.30, Soekarno kembali didatangi M. Yusuf, Amir Machmoed, dan Basoeki Rachmat. Mereka meminta kepada Presiden untuk memberikan surat perintah yang berdiktum kepresidenan demi keamanan dan ketertiban masyarakat bagi Jenderal Soeharto. Setelah Soekarno memberikan surat yang mereka inginkan itu, Surat Perintah dibacakan pada pukul 20.00 WIB di RRI Pusat dan dilanjutkan dengan pembacaan surat pembubaran PKI.<br></br>Setelah siaran selesai, para anggota PKI pun ditangkapi oleh mereka, termasuk orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Wilardjto, merupakan salah satu orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang juga ditangkap pada malam itu juga. Kemudian, ia di sidik, dipukuli, ditelanjangi, disetrum, dimaki-maki, diancam dan berbagai siksaan lainnya. Bukan hanya itu, tanpa tuduhan yang jelas, ia langsung di masukkan LP. Wirogunan (Yogyakarta), LP. Kalisosok (Surabaya), dan terakhir di LP Ambon. Wilardjito bebas pada tanggal 9 Januari 1978 (hlm. 199-151). <br></br>Ironisnya, ia mendapat masalah lagi setelah "membeberkan" peristiwa Supersemar di Harian Umum Bernas, Yogyakarta, pada 22 Agustus 1998. Hasilnya, 29 kali persidangan untuknya, dengan tuduhan 'memberitakan kabar bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat'. Namun, pada akhirnya, Makhkamah Agung (MA) membebaskan Wilardjito dari segala tuduhan, pada 14 Agustus 2007.<br></br>Sebagai buku sejarah yang mengeluarkan cerita yang berbeda dengan pihak pemerintah dan versi pihak lain, tentunya buku ini cukup menghentakkan pembaca. Meski begitu, tidak menutup keinginan pembaca untuk "menyandingkan buku ini dengan buku lain", guna memperoleh keotentikan sejarah Indonesia. Dari keotentikan sejarah tersebut, bangsa ini akan lebih jelas dalam menyikapi sejarah perjalanan negeri ini, apakah patut diralat atau dilanggengkan dan dikabarkan kepada para generasi bangsa yang kelak memimpin bangsa ini.***</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-19055143699087489482008-07-07T02:35:00.000-07:002011-12-11T03:01:00.776-08:00Hakikat Cinta<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQXUUVkxtCQySTSOznnxSwB6RxeMtoLOGhhAm0ug2ACRXr5Erp9O270JzQzn1gfqtw5Uh4lamGKJJpaQ2h-iuBeiGYmsNzMmFDsUJo29_JGiEntfYAHj-Fs9AxtaeytIpc5BFQ4tgdJzI/s1600/Rumah+Cinta.JPG" alt="resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Rumah Cinta</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Mustofa W Hasyim</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Arti Bumi Intaran, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Mei 2008</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">263 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"></td><td valign="top" width="20" align="center"></td><td valign="top" width="270" align="left"></td></tr></tbody></table><br></br>Novel “Rumah Cinta” ini berkisah tentang universalitas cinta. Cinta tidak lagi bermakna seutas tali kasih yang mengikat antara dua individu yang berbeda. Melainkan tali kasih yang mampu memantik spirit kemanusiaan guna menuai kesuksesan bersama. Manusia belum bisa dikatakan sukses secara sempurna sebelum ada orang lain yang mampu mengikuti kesuksesannya dan atau melampauinya. Sehingga, dari spirit mengajak dan atau mendukung orang lain untuk sukses inilah yang kelak akan menemukan suatu pencerahan yang bernilai lebih (plus) secara global.<br></br><div class="fullpost">Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, merupakan setting tempat dan suasana yang dijadikan penulis dalam membentangkan ceritanya. Sedangkan, sebelum dan sesudah tanggal 27 Mei 2006, merupakan waktu yang dijadikan Mustofa sebagai ladang spiritual. “Di atas” inilah cerita akan tumbuh dan berkembang memancarkan aura penyemangat bagi pembaca. Terlebih, bagi pembaca yang pernah bersinggungan dengan latar ini akan terbuai dengan aura yang tumpang tindih antara keindahan, kebudayaan, dan pendidikan. Bukan hanya itu, antara jeritan, tangisan, penyesalan, umpatan, senyuman, dan ucapan ikrar akan datang bergulung-gulung dalam bentuk kenangan yang syahdu ketika pembaca ingat peristiwa gempa bumi berkekuatan 5,6 skala richter.<br></br>Menurut Mustofa, 27 Mei telah terlampaui. Namun, bukan berarti peristiwa tragis yang menelan banyak korban itu patut untuk dibiarkan menguap dari ingatan kita begitu saja, terutama masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng).<br></br>Di kisahkan, beberapa hari sebelum peristiwa gempa bumi, seorang kakek penjual pot (vas bunga dari tanah liat) menjajakan dagangannya di Kota Yogya. Dengan telapak kaki tuanya, penjual pot itu menyusuri lorong-lorong jalan di perkotaan dengan sejumlah pot yang bergelantungan karena terikat pikulan di pundaknya. Meskipun fisiknya telah “tergerogoti usia”, kekuatan penjual pot masih tampak jelas saat mengangkat pot dengan berbagai ukuran yang goyang ke kanan dan ke kiri.<br></br><table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td valign="top" width="60%" align="left">Etos kerja yang begitu dahsyat, menjadikan masyarakat yang ditawari dan dilaluinya terkagum-kagum. Meski demikian, rasa kagum itu tak mampu membendung rasa kasihan dan kaget ketika mengetahui sisi lain penjual pot. Sebenarnya, lelaki tua itu memiliki sejumlah anak dan</td><td font="#D4A017" valign="top" width="35%" align="left"><i><h2>" novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan "</h2></i></td></tr></tbody></table>cucu yang sudah dewasa, berumah tangga dan kecukupan. Anehnya, penjual pot tidak ingin berhenti dari profesinya yang telah dijalani sejak muda. Ia lebih rela di goblok-goblokkan orang-orang di belakangnya dan berkeras kepala dari pada meninggalkan pekerjaan yang didapatkannya dari para leluhurnya secara turun-temurun.<br></br>Dalam perjalanannya menjajakan pot, penjual itu menghabiskan waktu-waktu senggang imajinasinya untuk mengenang masa-masa muda saat berjualan. Saat ada pembeli -seorang ibu muda- yang telah berlalu dan meninggalkan uang di telapak tangan penjual pot, sontak mengagetkan dirinya. Penjual pot ingat bahwa ia pernah tergoda dengan rayuan seorang ibu muda nan cantik.<br></br><b>Jenazah</b><br></br>27 Mei 2006, gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan Jateng. Korban jiwa dan bangunan menandai suramnya peristiwa masa itu. Tak disangka. Di tengah gempa yang susul-menyusul, seorang laki-laki yang sehari-harinya bekerja sebagai pemandi jenazah di salah satu rumah sakit di kota, tersesat di desa asal penjual pot. Ketersesatan itu bermula saat ia hendak berkunjung ke tempat orang tuanya yang menjalani kehidupan di desa.<br></br>Yang mengharukan, pemandi jenazah itu justru menggagalkan niatnya untuk menjenguk orang tuanya. Ia lebih memilih menolong kakek penjual pot yang sedang terpisah dengan istri tercintanya saat berlari menyelamatkan diri. Sang kakek pun diantar pulang dan mencari istrinya yang dikabarkan dibawa relawan ke rumah sakit. Sesampai di sana, pemandi jenazah masih melanjutkan misi kasih sayangnya terhadap sesama manusia.<br></br>Ia mendaftar menjadi relawan pencatat dan pemandi korban gempa di rumah sakit itu. Bukan hanya itu, bagi korban gempa yang membutuhkan informasi dan pertolongan lainnya, dengan enteng, pemandi jenazah membantu mereka. Padahal, anak dan istrinya di Yogyakarta sempat mengalami ketakutan saat ada gempa.<br></br>Dengan kata-kata mutiara yang sering diselipkan penulis melalui tokoh-tokohnya, novel ini tampak mengharukan dan membuai pembaca untuk introspeksi diri atas segala tindakan. Meski demikian, alur cerita dan kehadiran tokoh yang samar-samar kedatangannya, menimbulkan kendala tersendiri bagi pembaca.<br></br><b>Muhammad Ghannoe</b>, <i>Aktif di Scriptorium Lintang Sastra Yogyakarta</i><br></br><br></br>Sumber : Suara Pembaruan, 6 Juli 2008 - Halaman 7</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5104093612317864080.post-20392952145287589262008-06-23T01:49:00.000-07:002011-12-11T03:03:34.295-08:00Cinta dan Rasa Kemanusiaan<table width="100%" align="center" border="0" cellpadding=""><tbody><tr><td rowspan="17" border="0" valign="top" width="213px" align="center"><img style="width: 163px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQXUUVkxtCQySTSOznnxSwB6RxeMtoLOGhhAm0ug2ACRXr5Erp9O270JzQzn1gfqtw5Uh4lamGKJJpaQ2h-iuBeiGYmsNzMmFDsUJo29_JGiEntfYAHj-Fs9AxtaeytIpc5BFQ4tgdJzI/s1600/Rumah+Cinta.JPG" alt="resensi buku, buku, Mustofa W. Hasyim, novel, rumah cinta" border="0" /></td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left">Judul</td><td valign="top" width="20" align="center">:</td><td valign="top" width="270" align="left"><i>Rumah Cinta</i></td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penulis</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Mustofa W Hasyim</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Penerbit</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">Arti Bumi Intaran, Yogyakarta</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Edisi</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">I, Mei 2008</td></tr><tr width="100%"><td valign="middle" width="90" align="left">Tebal</td><td valign="middle" width="20" align="center">:</td><td valign="middle" width="270" align="left">xi + 263 halaman</td></tr><tr width="100%"><td valign="top" width="90" align="left"><br /></td><td valign="top" width="20" align="center"><br /></td><td valign="top" width="270" align="left"><br /></td></tr></tbody></table>CINTA MEMANG BUTA (<i>love is blind</i>). Kehadirannya mampu melebur sekatsekat ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Lihat saja kisah cinta yang diperagakan para pahlawan nasional terhadap Tanah Air mereka, Kaisar Hirohito terhadap Jepang, Mahatma Gandhi terhadap India, Nabi Muhammad, Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya terhadap Tuhan dan umat mereka.<br></br><div class="fullpost">Spirit cinta yang universal itulah yang diadopsi Mustofa W Hasyim sebagai tema besar dalam novel Rumah Cinta ini. Dengan menggunakan Yogyakarta sebagai setting tempat, novel ini seakan benar-benar terangkat dari ranah berkumpulnya masyarakat yang majemuk (pluralis).<br></br>Dalam novel 263 halaman ini, Mustofa menyajikan ceritanya dari kehidupan sosial yang berlangsung di Yogyakarta. Daerah penghasil gerabah dari tanah liat ternama di Yogyakarta merupakan menu pertama yang membuka jalannya cerita. Sepasang kakek-nenek produsen vas bunga dari tanah liat menjadi tokoh utama.<br></br>Dalam perjalanannya mengais rezeki, sang kakek sering bertemu dengan masyarakat Yogya yang memiliki watak dan karakter yang sangat berbeda dengan masyarakat di desa. Semisal, konsumtif, individualistis, egois, mencampuradukkan bahasa dan budaya yang berbeda, serta mulai mengabaikan tata krama masyarakat Yogyakarta.<br></br><br /><b>Sungatno</b>, <i>pegiat di Skriptorium Lintang Sastra Yogyakarta dan anggota Tim Riset Kronik Kebangsaan Indonesia (1908-2008).</i><br /><br></br><br></br>Sumber : MEDIA INDONESIA • SABTU, 21 JUNI 2008 • HALAMAN 18</div>adminhttp://www.blogger.com/profile/05287978447815976323noreply@blogger.com