Hari Ini, Tintin di Bandung

Tintin masih di Bandung. Kali ini, bukan misi petualangannya. Bukan juga investigasi prostitusi, bukan pula wisata kuliner.

Tetapi, dihadirkan langsung oleh Sang Petualang Data, Anton Kurnia, sebagai objek kajian eksplorasi dan perbandingannya. Mulai dari zaman kelahiran hingga zaman plesetan. Termasuk, juga iklan hingga relasi kenegaraan.

Semuanya ditulis dan dirangkum dibawah empat judul tulisan dalam lembar Telisik halaman ke-21 hingga ke-22 di koran Pikiran Rakyat. Pada Edisi Senin (Wage) 1 Desember 2014 ini lah empat judul tulisan Anton Kurnia itu diberi aran : Tintin : Kisah Seru Wartawan Petualang; Herge, Sang Komikus Legendaris; Petualangan Tintin di Indonesia; dan Tintin Imitasi, Komik Parodi, dan Jokowi.

Usai menyimak "Tintin Imitasi, Komik Parodi, dan Jokowi," ragam adegan imajinasi ini kembali menguntit. Usai kubuka pintu intipan, aku menemukan beragam ingatan yang memantik senyum hingga gregetan.

Oh ya, sebelum dalam Iklan Kampanye Politik Indonesia, Tintin sempat muncul pada poster-poster iklan Wisata Indonesia. Saya lupa agen iklan mana yang mengadopsi Tintin dalam gambar hitam-putih itu. Yang jelas, tokoh Protagonis dalam dongeng lesan maupun cerita terekam juga tertulis, cukup seksi untuk dijadikan objek kepentingan di luar bingkai global suatu kisah. Tetapi, menurut saya, tindakan melesatkan atau mutilasi karakter semacam itu rentan mengancam karakter asli suatu karya. Jika tragedi semacam itu menimpa konsumen awam dan lugu, maka suatu karya, tokoh, dan Peng-karya-nya, bisa-bisa bakal terciprat getahnya.

Memang, tidak ada salahnya seorang pengagum dan penyuka idolanya meniru dan mencuri hal-hal positif dari Sang Idola. Namun, jika tindakan itu diplesetkan hingga mengancam pihak lain atau -bahkan- idolanya sendiri, saya kira, perlu adanya rekayasa pertimbangan ulang.

Ini bukan cuma soal plesetan yang mengarah pada pornografi, pornoaksi, relasi politis, politik praktis, hingga ajakan-ajakan (dakwah) lain yang dikemas dalam beragam kesan dan pesan. Tapi juga, soal keberlangsungan pengidola lain dalam proses memutar ulang kenangan, menghayati, menjaga, hingga menjustifikasi Sang Idola di kemudian hari.

Jika tindakan pemplesetan -atau penafsiran ulang- itu kebetulan cocok dengan apa yang diminati orang-orang awam, sangat mungkin tidak akan langsung menimbulkan masalah. Namun, dari kalangan awam maupun fasih yang tidak cocok dengan latar belakang, proses, hingga hasil yang muncul usai terjadinya tindakan itu, sangat mungkin akan melawan.

Cukup maklum jika perlawanannya itu dialamatkan pada tindakan pemplesetan. Namun sangat disesalkan jika ketidakmampuan melawan tindakan pemplesetan itu malah balik melawan, membenci, dan menghujat hal-hal yang diplesetkan pihak-pihak yang ditentang. Yang dalam hal ini, bisa mengarah suatu karya, idola, penulis, hingga orang lain yang tidak tahu menahu permasalahan itu namun sama-sama mengidolakan suatu karya yang sama.

***

Sebatas konteks itulah, saya sempat risih saat ada iklan televisi lokal yang melibatkan imaji publik dan tokoh punakawan dalam gelaran wayang juga ketoprak. Dalam iklan yang konon sebagai Iklan Masyarakat itu, ada beberapa punakawan yang sedang ngasap tembakau di sebuah warung. Akhir dari iklan pemerintah lokal itu tadi, mengajak warganya untuk menjadikan desa mereka sebagai “Desa Bebas Asap Rokok”.

Tentu bukan soal kontroversi regulasi, politik dibalik hukum, dalih kesehatan, dalih ekonomi, dalih etika, dan dalih budaya. Yang saya sayangkan, kenapa konsep iklan itu melibatkan tokoh-tokoh yang sudah merasuki imajinasi bawah-sadar publik untuk dibenturkan pada publik itu sendiri. Padahal, ujung goal pada iklan itu sendiri masih berbuntut kontroversi yang rumit.

Selain punakawan, tentu masih banyak tokoh-tokoh protagonis dalam suatu cerita atau karya yang dilihkan perannya secara paksa, kentara, maupun samar-samar. Entah dalam produk komersil maupun nir-laba, semacam organisasi dan komunitas tertentu.

Walau begitu, sekali lagi, tidak ada salahnya jika para pengidola atau penyuka seorang tokoh itu ingin menjadi (wanna be) atau meniru-niru hal-hal yang dianggap patut ditiru dari Sang Tokoh. Tetapi, jika tindakan meniru Sang Tokoh itu diwujudkan secara verbal dan dibenturkan pada mereka-mereka yang suka namun awam dalam beragam kepentingan dan pertimbangan, maka rentan terjadinya bencana “kesurupan massal”.

Jika menjelma efek “positif”, tanpa kontroversi, dan berkepanjangan, maka teori kesurupan selama ini tidak selamanya jelek. Namun, jika pada masa-masa ketidaksadaran itu ternyata banyak “efek samping”-nya bagi publik, maka dapat dipastikan, bahwa itulah tanda-tanda kesuksesan pihak-pihak berkepentingan di belakang marketing dan sales.

***

Memang, rentannya potensi permasalahan semacam itu, bisa dikembalikan lagi pada diri kita sendiri-sendiri. Serumit, sejauh, dan separah apapun gelagat negatif pihak-pihak yang memanfaatkan “tokoh suci” dalam imajinasi, akan redup dengan sendirinya jika kita mampu mengidentifikasinya. Tindakan memelintir kenangan dan ajaran yang dilakukan di atas kepentingan-kepentingan kusam, bakal balik dengan sendirinya. Tentunya, perlu adanya tindakan lanjutan sebagai bentuk penangkalan.

Setidaknya, dengan menyimak karya-karya eksplorasi, perbandingan, dan analisa kepentingan, kita bisa meningkatkan wawasan dan jeli dalam mengidentifikasi keaslian karakter suatu tokoh. Dan, terkait tokoh Tintin, tidak ada dari Herge yang mengajak pembaca untuk turut serta ”berwisata wanita”.

Jika menemukan karya-karya yang melibatkan Tintin dan tokoh-tokoh positif lainnya dalam durasi pornografi, pornoaksi, iklan produk, dan semacamnya, itu kemungkinannya datang dari pihak ketiga. Akan lebih bagus jika karya-karya semacam itu disingkirkan terlebih dahulu sebelum anak-anak atau adik-adik kita mampu menganalis kepentingan di balik itu semua. Termasuk, juga efek-efeknya. []

read more >>

Istilah BAB : Babul Babagan, Bab!

Kata BAB dalam istilah buku-buku berbahasa Indonesia itu dari kata apa? Siapa yang pertama kali menggunakan kata Bab sebagai bagian dari judul pembahasan dalam buku-buku berbahasa Indonesia?

sejarah kata bab indonesia, sejarah pasucen

Puluhan tahun mengenal kata Bab. Ratusan kali mengucap kata Bab. Ribuan kali melihat kata Bab. Dan jutaan kali menulis kata Bab. Milyaran kata Bab, sudah tersebut, terekam, tercetak, terdigital, dan terpopular.

Dalam kitab Arab ataupun Ngarab, sudah lama sekali adanya istilah Bab. Sebuah istilah khusus yang ditarik-mesra dari perumpamaan gerbang tak berdaun menuju paviliun.

Baabun . Memang bisa dipadankan dengan gerbang atau pintu dalam bahasa Indonesia. Bisa pula dikatakan satu kali saja menggunakan pola pewakafan yang menawan. Baabun (bãbun), menjadi Baab (Bãb). Atau, boleh juga disulih menjadi Bab saja.

Dalam budaya Jawa sisih utara, tidak sedikit masyarakat yang menggunakan gaya slank dalam menyebut istilah Babagan. Dari yang semula tiga ruas, menjadi satu ruas. Ba-ba-gan berubah cekak menjadi Bab.

Maksud Bab yang satu ruas (buku) ini juga sama dengan yang tiga ruas tadi. Adapun padanannya masih tetap sama pada "pembahasan" ataupun "bahasan". Ia akan kembali disebut masyarakat Pantura secara normal dalam situasi-siatuasi formal. Jika masih dalam situasi non-formal, kata babagan cenderung diwakafkan menjadi Bab. Umpamanya, di tengah obrolan ringan gazebo, gardu, rondan, angkruk (cangkruk), gubug, pematang, dan lainnya.

Lalu, apa benar, kata Bab yang menjadi istilah khas pada penjudulan bahasan-bahasan dalam buku berbahasa Indonesia itu berasal dari kata murni nan asli. Atau, apa iya, kata bab-bab itu disuling dari kata lain dalam bahasa non-Indonesia ?

Kata Bab Arab dan Bab Jawa memang berbeda jika dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata Bab dari Arab cenderung dipadankan dengan Pintu atau Gerbang. Tetapi, dari sisi budaya perbukuan, kata Bab Arab ini memiliki kesamaan. Sedangkan kata Bab dari Jawa sisih Utara cenderung dipadankan dengan kata Bahasan atau Pembahasan.

Artinya, kata Bab Jawa ini gagal untuk dipadankan dengan kata Bab dalam budaya penjudulan bahasan dalam buku-buku berbahasa Indonesia. Akan tetapi, kata Bab dari Jawa ini lebih cocok, lebih dekat, dan lebih realis jika disandingkan dengan maksud Bab dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, judul Bab I : Randu Pati. Bisa dipahami; Bahasan Pertama : Randu Pati.

Yang jelas, kata Bab dalam bahasa Indonesia ataupun istilah perbukuannya, bukan berasal dari kata Baby yang di-cool-kan menjadi Bab [Bæb]. Tidak juga dari kata Babi meski sesekali ada penulisan angka romawi yang menyebabkannya seperti Babi. Begini: BAB I, BAB II, BAB III. Jika dilengkapi, contohnya begini: BAB I : BABI HUTAN. Maksudnya bab ini, Pembahasan Pertama tentang Babi Liar. Celeng!. ***

read more >>

Orang Kristen Naik Haji


orang kristen, madinah, mekah, haji, Ausgustus Ralli
Judul:Orang Kristen Naik Haji
Penulis:Augustus Ralli
Penerjemah:Taufik Damas
Penerbit:Serambi, Jakarta
Tahun:I (Pertama), 2011
Tebal:360 halaman


Peresensi : MG. Sungatno

Sumber Resensi : Majalah Kuntum, nomor 325 / Februari, 2012. hlm.16

Ceruk Deskripsi Resensi



Salah satu nilai lebih dalam buku ini terletak pada nuansa totalitas mencari pengetahuan yang digelorakan tokoh-tokoh realis yang diadaptasi ulang oleh Augustus Ralli.

Mereka tampak berani mempertaruhkan konskuensi holistik-matematik demi titian pengetahuan yang diidam-idamkan. Padahal, getar-getar pengetahuan yang bikin bulu bergidik itu berada di tengah pusara ancaman mematikan.

Walhasil, kisah nyata yang terpadatkan dalam 350 halaman ini tergolong mampu memberikan sumbangan wawasan yang mencengangkan. Baik bagi umat Kristen (non-Muslim) maupun umat Islam dan dunia ke-Islam-an.

Lebih-lebih juga dilengkapi Ralli dengan catatan-catatan khusus seputar Mekah, Masjidil Haram, Haji, dan Madinah pada abad ke-15 hingga ke-19. (MG. Sungatno/CABC)

read more >>

Menyoal Kualitas Kesaksian Perempuan

resensi buku, buku, gender, perempuan, Lia Aliyah al Himmah
Judul:Kesaksian Perempuan; Benarkah Separuh Laki-laki?
Penulis:Lia Aliyah al Himmah
Penerbit:Rahima, Jakarta
Edisi:I (Pertama) 2008
Tebal:52 halaman

Berdasarkan Q.S. Al Baqarah ayat 282, banyak yang memahami bahwa kesaksian perempuan bisa dikatakan "sah", jika digabung dengan kesaksian –minimal- seorang laki-laki. Kesaksian perempuan itu pun, belum bisa dikatakan sah, jika tidak dikuatkan dengan kesaksian –minimal- seorang perempuan lagi.

Selanjutnya, diantara para ulama dan pengkaji ilmu fiqh (fikih), berdasarkan al Baqarah ayat 282 itu, timbul perdebatan panjang yang hingga kini terasa belum usai. Meski demikian, sedikitnya ada dua pandangan terkait perempuan dan kesaksian. Pertama, perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk menjadi saksi. Baik dalam pernikahan, perceraian, dan hudud (masalah pidana). Kedua, meskipun dibolehkan memberikan kesaksian, nilai kesaksian perempuan dihargai separoh dari kesaksian laki-laki. Dua saksi perempuan, sama dengan satu saksi laki-laki.

Dari sini, tampak bahwa diantara kaum laki-laki dan perempuan masih ada sekat-sekat kuat yang membedakan diantara keduanya. Padahal, secara konseptual, berdasarkan al Qur'an dan Al Hadits, keberadaan kedua makhluk ini sejatinya tidak ada perbedaan dihadapan Allah SWT. Hanya kualitas ketaqwaan keduanya saja yang membedakan keduanya dihadapan Tuhan yang maha adil itu. Selain itu, menurut Lia Aliyah Al Himmah, pemahaman seperti diatas, menyisakan kepiluan tersendiri bagi kaum perempuan. Dan, bisa berkembang atau dikembangkan menjadi pandangan yang inferior, diskriminatif, dan misoginis bahwa seolah-olah perempuan adalah setengah manusia berjenis laki-laki, posisi dan kualitas perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki dan perempuan kurang dipercaya secara penuh dalam urusan apapun. Kerenanya kesaksian perempuan dihargai separuh laki-laki.

Keadaan Perempuan

Pada masa ayat 282 dari Al Baqarah itu turun, kondisi perempuan memang sangat memprihatinkan. Ditengah kuatnya budaya yang mengandalkan kekuatan laki-laki, mayoritas kaum perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan hanya bisa berperan dalam urusan domestik, tidak ada yang menjadi pemimpin publik, setiap keluar rumah harus didampingi mahramnya, tidak berpendidikan sebaik laki-laki, dan lainnya.

Dalam kondisi demikian, perempuan menjadi korban dalam sistem sosial yang secara jelas menjadikan mereka terbelenggu. Sehingga transformasi ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan menjadi terbatas dan kesempatan bergaul dengan dunia publik pun lebih sedikit dari pada laki-laki. Tak pelak, perempuan menjadi sangat inferior, tidak begitu diperhitungkan, dan semua statemen-statemen serta pengakuannya di nilai kurang berkualitas.

Melihat realitas latar belakang yang demikian, kesaksian perempuan yang perlu didampingi dengan perempuan lain lantas ditambah dengan kesaksian laki-laki, memang cukup rasional. Daya ilmu pengetahuan dan daya ingat mereka yang tidak diasah melalui dunia pendidikan menjadikan mereka kalah bersaing dengan laki-laki. Keunggulan laki-laki saat itu lah yang kemudian dijadikan bahan argumentasi para ulama' dalam banyak literatur tentang dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki. Selain itu, menurut syaikh Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani dalam Fath al Qarib, daya ingat perempuan dinilai lemah dan sering lupa. Argumentasi ini berdasarkan petikan ayat 282 surat Al Baqarah yang berbunyi "an tadhilla ihdahuma fa tudzakkira ihdahuma al-ukhra" (supaya jika seorang saksi [perempuan] lupa, maka seorang lagi [perempuan yang lain] mengingatkannya).

Begitu juga dengan argumentasi madzab Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka beralasan bahwa dalam diri perempuan lebih dominan sifat lemah lembut, terbatasnya ingatan, dan ketiadaan kekuasaan perempuan atas "sesuatu". Tidak jauh berbeda, Jalal al Din Muhammad ibn Ahmad al Mahalli dan Jalal al Din Abdu al Rahman ibn Abi Bakr al Suyuthi beralasan seperti yang tertulis dalam Tafsir al Jalalain. Menurut keduanya, perempuan tidak memiliki kemampuan dalam memerintah dan tidak diakui dalam kasus-kasus kriminal.

Bertolak dengan realitas latar belakang perempuan masa lalu, kini banyak perempuan yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan bahkan tak jarang menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Sehingga, ketetapan yang berdasarkan argumentasi seperti diatas perlu dikaji ulang. Sudah tidak selayaknya lagi ketetapan itu menyisakan pembedaan kiprah antara perempuan dan laki-laki. Dan, setidaknya, kesempatan bagi perempuan untuk menjadi saksi dalam pernikahan, perceraian, dan hudud, perlu didiskusikan lebih lanjut. Tentunya, terkait dengan keadaan perempuan yang kini telah menapaki perbedaan dari pada belasan abad yang lalu. Begitu juga dengan nilai kesaksian perempuan yang hingga kini masih banyak yang menghargai separoh dari kesaksian laki-laki.

Memang, melihat realitas yang terjadi di republik ini, secara formal dalam kasus-kasus tertentu ada yang telah menerima kesaksian perempuan. Semisal, kasus pelecehan seksual yang pernah dilakukan beberapa anggota militer pada perempuan-perempuan dia Aceh. Pasca peristiwa ironis itu, pengakuan dan kesaksian beberapa korban dapat diterima oleh pihak berwenang. Namun, berbeda ketika "transaksi" ijab qobul dalam pernikahan berprosedur Islam, di negara ini masih saja memilih pihak laki-laki dari pada pererempuan.

Perempuan juga manusia layaknya seorang laki-laki. Di dunia ini, keduanya ditakdirkan untuk bermitra dalam meniti ridla-Nya. Dan, berlomba-lomba dalam mencari kebaikan -seperti yang diperintahkan Al Qur'an, bukan hanya diperuntukkan kaum Adam. Kaum Hawa juga manusia yang berkesempatan.[Muhammad Ghannoe]***

read more >>

Perdamaian Global Ala Islam

resensi buku, buku, Perdamaian Global Ala Islam, damai islam, pusham uii
Judul:Islam Bisa Kok Mendamaikan Konflik!
Penulis:Tim Pusham UII
Penerbit:PusHAM UII, Yogyakarta
Edisi:I (pertama) 2009
Tebal:xiii + 108 halaman
Dalam setiap sejarah perjalanan umat manusia, seseorang tidak pernah lepas dari suatu permasalahan. Baik permasalahan dalam diri sendiri maupun permasalahan yang berjalin kelindan dengan orang lain atau pemerintahan setempat. Namun, jika ditelusuri dari garis struktural, permasalah-permasalah itu lebih tampak atau meletup dari luar (eksternal) diri setiap orang yang memiliki masalah.

Dalam konteks ini, Karl Marx pernah menengarahi permasalahan masyarakat dengan pendapatnya bahwa dalam setiap masyarakat terdapat dua lapisan kelas yang saling membedakan dan berbenturan, yaitu masyarakat lapisan atas dan lapisan bawah. Meski tampak meng-counter Marx, Ralf Dahrendorf juga mengakuinya dengan menambahkan adanya lapisan menengah yang berada di antara lapisan atas dan bawah sebagaimana pendapat Marx tadi.

Terlepas dari klasifikasi tersebut, menurut buku ini, permasalahan-permasalahan dalam setiap masyarakat lebih dipicu oleh perbedaan perspektif dan persepsi tiap-tiap individu yang bermuara pada ketegangan dan perselisihan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab utama timbulnya konflik. Kemunculan konflik itu sendiri lebih disebabkan adanya hasrat kompetisi di antara manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam (SDA), merebutkan kekuasaan, dan status.

Tidak jarang dalam memperebutkan nilai, kekuasaan, dan SDA, pelbagai pihak tidak mau mengafirmasi motif dan tujuan kelompok lain. Misal saja, aspirasi penegakkan syariat Islam dan penutupan tempat-tempat maksiat, kerap kali ditentang oleh kelompok lain. Dari sinilah salah satu celah terbukanya pintu yang menampakkan wajah-wajah konflik yang ‘angker’.

Fase Konflik

Konflik dalam setiap bangsa-negara (nation-state), bereskalasi melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan itu, setidaknya, dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap. Pertama, konflik tidak langsung atau laten. Dalam tahapan ini, konflik telah terjadi di antara manusia namun tidak terekspresikan. Selain itu, konflik laten juga bisa terjadi ketika negara mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat atau umat islam. Namun, masyarakat hanya bersikap diam dan tidak melakukan apa-pa.

Kedua, konflik terbuka, yang mana pihak-pihak berkonflik mulai berani mengekspresikan ketidaksetujuannya dan berujung pada perselisihan. Dalam isu RUU Pornografi beberapa waktu yang lalu, misalnya, para aktivis Islam mulai melakukan kampanye dan demonstrasi. Mereka mendukung adanya UU Pornografi yang kemudian ditolak oleh berbagai kalompok lain.

Ketiga, eskalasi dan perebutan kekuasaan. Pada fase ini, tensionalitas konflik mulai meruncing sedangkan pihak yang berselisih mulai menunggang kekuasaan masing-masing yang dilengkapi dengan intrik-intrik politik tertentu. Tentunya hal itu bertujuan saling mengafirmasi kelemahan bahkan mengultimatum pihak lain. Dan keempat, adalah tahapan puncak yang sering menyisakan aksi kekerasan. Pada titik makskimum ini, pihak penentang mulai berfikir bagaimana mengeliminasi pihak yang lain. Selain itu, kekerasan yang muncul tidak lagi berlangsung secara fisik saja, melainkan dengan cara struktural, kultural, dan simbolik. Semisal, dengan melibatkan media massa untuk menanamkan stigma yang buruk kepada lawan-lawanya. Biasanya, salah satu pihak mendapatkan “legitimasi” dari negara untuk mendukung cita-citanya.

Mengatasi Konflik

Beberapa cara dalam menyelesaikan konflik atau sengketa, yang sering kita temukan adalah negosiasi, litigasi, arbitrasi dan mediasi. Dalam negosiasi, para pihak atau wakilnya (negosiator) berusaha melakukan penyelesaian sengketa di antara mereka tanpa melibatkan pihak luar. Bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum formal di pengadilan adalah litigasi. Sedangkan arbitrasi, para pihak yang menginginkan adanya penyelesaian konflik melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang secara aktif terlibat dalam menentukan proses penyelasaian masalah dan kesepakatan akhir. Berbeda dengan arbitrasi, mediasi melibatkan pihak ketiga (mediator) yang dipilih secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak bertanggungjawab untuk secara aktif mencapai kesepakatan dengan difasilitasi oleh mediator.

Jika dibandingkan dengan yang lain, upaya penyelesaian konflik melalui mediasi memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, proses penyelesaian relatif lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mediasi juga banyak dipilih karena tidak jarang menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak tanpa ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’ (hlm.80). Ini berbeda dengan aksi-aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak di Indonesia. Meskipun proses penyampaian aspirasi dalam unjuk rasa itu diwarnai proses perundingan, sering kali mengalpakan mediator. Sehingga, perundingan antara wakil-wakil kedua belah pihak sering menemukan jalan buntu akibat mempertahankan ego, perspektif, dan persepsi masing-masing.

Dalam sejarah Islam, proses penyelesaian konflik dengan metode mediasi, juga pernah terbukti. Tepatnya pada masa renovasi Ka’bah oleh suku Quraisy pasca diserang banjir besar yang turun dari gunung. Dalam proses renovasi itu, muncul sebuah konflik antara ketua-ketua kabilah yang nyaris memakan korban jiwa di antara mereka. Adapun sumber konflik itu hanya memperebutkan kesempatan untuk meletakkan kembali sebuah batu hitam (hajar aswad) pada tempatnya yang telah dibersihkan dan disucikan.

Oleh para kabilah, akhirnya sepakat menunjuk siapapun yang berhasil memasuki pintu shafa pertama kali, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tatkala mereka mengetahui bahwa Muhammad-lah yang berhasil, mereka pun menantikan keputusan yang ditunggu-tunggu itu. Tanpa diduga mereka sebelumnya, Muhammad yang dipercaya sebagai orang yang jujur itu meminta sehelai kain. Di atas kain itu pula, Muhammad mengambil hajar aswad dan diletakkan di atas kain tersebut. Para ketua kabilah pun diundangnya untuk memegang tiap ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama hingga mendekati bibir tempat batu suci itu. Selanjutnya, batu itu diangkat dan diletakkan oleh Muhammad pada tempat semula. Dan, perselisihan yang hampir menjadi sumber perang saudara itu pun terhindarkan karena para ketua kabilah merasa tidak ada yang ‘kalah’ atau ‘menang’.

Secara umum, buku ini menginspirasikan pembaca untuk menyikapi berbagai macam konflik yang ada, dengan sikap yang dewasa, bijaksana, tanpa merugikan pihak-pihak yang bersengketa. Baik secara struktural, kultural, maupun simbolik. Minimal, dampak negatif dari adanya konflik perlu diminamalisir sekaligus mengupayakan terjaganya perdamaian dan kenyamanan global. Adapun salah satu inspirasi itu terpancar dari khazanah Islam dengan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan.[Muhammad Ghannoe]***

read more >>

Memadukan Batik Nusantara

batik, memadukan, gaya,
Judul:Padu Padan Batik
Penulis:Biliq Ratna & Friend
Penerbit:Wisma Hijau, Depok
Edisi:I, 2009
Tebal:58 Halaman
Buku ini merupakan salah satu apresiasi penulisnya dalam menyikapi produk batik khas Indonesia. Selain itu, juga sebagai kampanye positif agar bangsa Indonesia lebih mencintai dan memakai budaya produk dalam negeri. Sehingga tanggal 2 Oktober yang telah disepakati sebagai Hari Batik Nasional itu tidak sia-sia lantaran bangsa ini memakai batik sebagai salah satu koleksi mereka. Baik dalam bentuk pakaian secara sempurna maupun sebagai tampilan asesoris lainnya.

Batik, menurut buku ini, merupakan salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan tempo doeloe (masa lampau), misalnya, menjadikan ketrampilan membatik sebagai mata pencaharian. Tidak salah jika pekerjaan membatik waktu itu sempat dianggap sebagai pekerjaan eksklusif. Namun, setelah ditemukannya “batik cap”, pekerjaan membatik tidak lagi didominasi oleh perempuan. Kaum laki-laki pun turut serta berkecimpung dalam usaha perbatikan (hlm.6). Menurut Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo, batik Indonesia sebenarnya sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit. Hanya saja, bahan utama batik waktu itu banyak di datangkan dari China.

Baik bahan dasar maupun kedatangan bangsa asing ke nusantara, lambat laun menambah banyaknya corak baru pada batik yang beredar di nusantara. Warna-warna cerah, (seperti merah) dan corak phoenix dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Tionghoa. Begitu juga corak

" buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara "

bebungaan (seperti bunga tulip), bangunan gedung, dan kereta kuda, dipengaruhi oleh bangsa Eropa. Meski begitu, bangsa pribumi tetap konsisten dengan batik tradisional mereka yang mempertahankan kekhasannya.

Seiring perkembangan zaman, batik yang semula identik dengan kaum bangsawan kerajaan, lambat laun mulai memasyarakat. Terlebih, perkembangan strategi produksi dan aneka inovasi batik yang beragam semakin mendukung generasi bangsa ini untuk memakai batik. Di berbagai pasaran batik, misalnya, dapat kita jumpai aneka motif batik tradisional yang dikomposisi ulang dengan corak-corak ringan. Corak seperti inilah yang kemudian memungkinkan semua kalangan dapat memakainya tanpa kesan tua, kuno, atau kesan-kesan penghambat lainnya.

Selain mengulas aneka ragam batik zaman dulu hingga sekarang, buku ini juga menyajikan aneka tips bagi pembaca agar berakrab ria dengan batik nusantara. Dalam penggunaan batik, misalnya, buku ini memberikan tips agar si pemakai tidak terkesan canggung, aneh, atau diledek orang lain. Adapun tips itu salah satunya bisa dengan memadukan batik dengan kondisi fisik si pemakai atau menggabungkan motif-motif batik tertentu dengan motif batik lainnya. Motif batik tradisional yang atraktif, misalnya, dapat dipadu dengan motif batik konvensional seperti motif sogan. Motif batik itu sendiri juga dapat dipadukan dengan motif-motif kain modern, seperti garis, kotak, dan bunga. Namun, semua itu hanyalah alternatif yang ditawarkan buku ini. Pembaca bebas memadukan motif-motif lainnya sesuai selera tanpa membenci dan menjahui batik.

Berbagai tips seputar pakaian batik dan sejarah singkat perkembangan batik nusantara itulah yang dibahas dalam buku ini. Selain design dan lay-out buku ini terkesan santai, foto-foto yang ada di dalamnya juga memberikan inspirasi tersendiri bagi pembaca. Selamat membaca dan bergaya dengan batik nusantara [MG. Sungatno/CABC].

read more >>

Sejarah sebagai Proses


KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Buku-buku GusDur
Judul:Membaca Sejarah Nusantara : 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis:Abdurrahman Wahid
Pengantar:KH. A. Mustofa Bisri
Penerbit:LKiS, Yogyakarta
Edisi:Pertama, 2010
Tebal:xx+133 halaman
Bab:Membaca Sejarah Lama (1)
Halaman:1-4

Membaca Sejarah Lama (1) merupakan fragmen pertama yang tersajikan dalam buku ini. Kolom ini mengajak pembaca untuk memasuki kesejarahan bangsa Indonesia melalui gerbang utama. Gerbang pembacaan sejarah yang selama ini acapkali terhindari dan –bahkan- tak disadari keberadaannya.

Meski cenderung praktis bernuansa tip, tulisan yang satu ini merupakan salah satu kunci untuk membongkar nilai-nilai sejarah yang tersaji maupun yang termanipulasi. Nilai-nilai itulah yang seyogyanya dijadikan pemantik pembaca untuk mengekpresikan pesan-pesan sejarah. Sejarah bukanlah produk penjabar, pengukuh, penolak, penghias, penyemangat, penjejal, dan perecok belaka. Melainkan juga sesuatu yang terlekati arti-arti dan nilai-nilai pasif.

Baik arti maupun nilai-nilai pasif itu sendiri hanya bisa diaktifasi dan direaktifasi melalui kesadaran akan pembacaan sejarah sebagai sebuah proses (hlm.4). Tanpa kesadaran itu penyimak sejarah bakal cenderung menjadi pasif dan memperparah kepasifan sejarah. Dikatakan memperparah karena dalam sejarah juga terdapat kepasifan dibalik tuturan yang seolah-olah aktif. Dan, kepasifan itu akan tampak jelas ketika sejarah terbuktikan ketergantungannya pada penyimak dan pengguna.
Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi. Perbedaan itu justru bakal digunakan sebagai bahan pemerkaya wawasan dan analisis yang memungkinkan penyimak bisa selamat dari kungkungan frame-frame tertentu. Luasnya wawasan dan analisis itu, kemudian, dijadikan sebagai pijakan untuk menilai suatu sejarah dan mengekspresikan pesan-pesannya di masa mendatang secara luas.

" Penyimak sejarah yang sadar, akan berusaha membuka diri dan bijak terhadap segala hal yang mengarah pada perbedaan versi "


Penyimak semacam itulah yang nantinya bisa dikategorikan sebagai penyimak aktif yang mampu menggunakan pengetahuan sejarah. Mereka tidak hanya mampu menggunakan sejarah sebatas simbol-simbol keluhuran-kebiadaban dan solusi temporal-dangkal. Para orang tua tidak hanya akan menjadikan sejarah sebagai dongeng sebelum tidur bagi putera-puterinya belaka. Melainkan turut aktif dalam menjabarkan nilai-nilai positif-negatif yang musti diketahui buah hati mereka berikut penerapannya terkini.

Selain itu, ada juga penyimak pasif yang mempergunakan sejarah sebagai kenangan lawas semata. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang kuno, tak bermakna, dan hanya bisa dimanfaatkan sebagai pelipur atau pengalih kenangan. Sejarah menjadi sebatas dongeng faktual yang menyadarkan ingatan mereka bahwa di zaman dulu pernah terjadi suatu peristiwa atau kehidupan. Sejarah akan dijadikan sebagai bahan pencari solusi sesaat yang sifatnya temporal-dangkal. Semisal, untuk menjawab soal-soal ujian sekolah atau kuliah.

Lebih mengerikan lagi, ada juga penyimak yang menempatkan sejarah sebagai penjegal masa kini dan masa depan. Sejarah dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar lampau dan tidak bisa ditiru ulang atau diambil pelajarannya. Sejarah dianggap sesuatu yang tidak memiliki nilai-nilai yang positif, konstruktif, dan berharga. Yang ada hanya dongeng karikatural. Tampak lucu jika dibaca ulang di zaman sekarang.*** [MG. Sungatno/CABC]

read more >>