Lebih Baik Indonesia Tenggelam

resensi buku, buku, Mohammad Hatta, biografi, sejarah
Judul:Mohammad Hatta; Biografi Singkat 1902-1980
Penulis:Salman Alfarisi
Penerbit:Garasi (Kelompok Penerbit Arruz), Yogyakarta
Edisi:I (Pertama) 2009
Tebal:242 halaman
"…..Bagi Pemoeda Indonesia, Ia lebih soeka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laoetan daripada mempoejaija sebagai d jadjahan orang kembali…"

Demikian kutipan pidato Bung Hatta di sebuah rapat umum di Lapangan Ikada Jakarta pada 8 Desember 1942. Waktu itu, Bung Hatta bersama Bung Sjahrir baru saja terbebas dari pencekalan Pemerintah Hindia Belanda yang kesekian kali. Dan, situasi keamanan internasional masih panas akibat meletusnya Perang Asia Timur Raya setahun sebelumnya.

Pasca pidato ‘garang’ itu, Bung Hatta menjadi buah bibir di kalangan pemoeda-pemoeda pada zamannya. Sengatannya mampu melepuhkan spirit mereka untuk tetap diakui sebagai pemoeda sejati Indonesia. Bukan pemoeda Indonesia jika lebih suka melihat Indonesia terjajah bangsa-bangsa serakah dan tak berperikemanusiaan. Lebih baik Indonesia tiada daripada terjajah untuk kesekian kalinya.

Buku ini, bukanlah tulisan Bung Hatta untuk mengenang perjalanan dan perjuangannya sendiri. Melainkan tulisan Salman Alfarisi yang mengajak bangsa ini untuk mengenang kehidupan dan perjuangan Proklamator RI itu. Terutama, ketika bangsa ini melakukan peringatan wafatnya Bung Hatta pada 14 Maret kemarin. Menurut penulis, Bung Hatta merupakan sosok founding father yang spirit perjuangannya terhadap bangsa ini perlu untuk kita renungkan kembali. Terlebih dalam menyikapi keadaan negeri yang masih “terjajah” ini. Sebab, hingga kini bangsa Indonesia belum mampu mewujudkan harapan founding fathers secara sempurna. Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.

Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.

Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.

Pendidikan Hatta di mulai dari Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatta mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.

Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.

Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School, Indonesia masih miskin, tergantung bangsa lain, dan belum bisa maju menyaingi bangsa-bangsa yang sejak dulu telah tercium kemajuannya.

Bung Hatta merupakan putera dari pasangan Haji Mohammad Jamil dan Siti Saleha. Ia terlahir menjelang fajar menyingsing pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Payakumbuh, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Hatta. Menurut Hamka, nama itu berasal dari nama Muhammad Ata. Nama ini diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Karim ibnu Ata Ilah Al Sakandari. Tokoh ini merupakan sosok yang masyhur pada masanya. Ia adalah pengarang kitab Al Khikam yang banyak dikaji oleh umat Islam.

Sejak kecil, selain mendapat kasih sayang dari orang tuanya, Hatta juga menjadi cucu kesayangan kakek-neneknya. Bahkan, kakeknya sempat berniat ingin menyekolahkan Hatta ke Makkah. Sayangnya, rencana kakeknya itu terpaksa digagalkan ketika Hatta yang baru berusia delapan bulan itu ditinggal mati oleh ayahnya. Sehingga, biaya untuk menyekolahkan Hatta ke luar negeri terasa berat bagi keluarga itu.

Pendidikan Hatta di mulai dari Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Di sekolah ini, Hatta berhasil menamatkannya pada tahun 1916. Lantas, Hatta kecil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO), di Padang. Di sini, kecerdasan Hatat mulai tampak dan mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Termasuk Haji Abdullah Ahmad yang telah mengenalkannya dengan pemikiran-pemikiran modernisme Muhammad Abduh dari Mesir.

Selain sekolah, Hatta aktif dan menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB), Cabang Padang. Sejak inilah Hatta mulai mengenal H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim melalui tulisan-tulisan yang ada di Surat Kabar Utusan Hindia dan Neratja. Meski demikian, pendidikan Hatta tetap berjalan normal dan berhasil menamatkannya pada tahun 1919.

Usai dari MULO, Hatta melanjutkan ke Handel Midlebare School atau Prins Hendrik School (Sekolah Menengah Dagang) di Batavia (Jakarta) dan tamat pada tahun 1921. Selama sekolah, Hatta muda mulai belajar mengarang dan menawarkan ke pada media massa waktu itu. “Namaku Hidania!, merupakan tulisan pertamanya yang di tayangkan majalah Jong Sumatera.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Dagang, Hatta melanjutkan pendidikannya di Netherland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda. Semasa di Negeri Kincir Angin ini, ia mulai mengenal lebih jauh pemikiran tokoh-tokoh dunia, semisal tokoh-tokoh pembaharu dan sosialis. Di negeri ini pula, jiwa nasionalisme-nya terhadap Indonesia mulai semakin mantap. Dengan bergabung organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), Hatta mulai berani menentang keberadaan kaum penjajah di nusantara. Akibatnya, Hatta sempat ditangkap dan diadili pemerintah Belanda karena dituduh melakukan aksi subversif. Meski demikian, pada 22 Maret 1928, ia terbebas dari segala tuduhan dan keluar dari penjara. Pada 5 Juli 1932, Hatta lulus dari Netherland Handelshogeschool, lantas pulang ke Tanah Air.

Sejak kepulangannya, Hatta mulai dihadapkan dengan realitas penjajahan yang terjadi di negeri ini. Melalui kaderisasi dan pendidikan ditengah kalangan pemuda serta berbagai organisasi, Hatta melancarkan aksi penentangan terhadap penjajah. Termasuk Jepang yang mengambil alih penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda sejak tahun 1942.

Dengan keaktifannya di berbagai organisasi dan menyalurkan gagasan-gagasannya di media massa, Hatta mulai dikenal luas bangsa ini. Bersama Soekarno, Hatta di tunjuk teman-teman mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sehari setelahnya, ia diangkat secara aklamasi sebagai wakil presiden pertama RI. Sehingga, tantangan untuk berjuang demi rakyat semakin berat. Meski begitu, Hatta tetap bertahan dan menjunjung tinggi amanah yang telah diembannya.

Dua tahun kemudian, Soekarno menemui dan melamar Siti Rahmiati Rachim untuk Hatta. Perempuan asal Desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat itu pun dinikahi Hatta pada tanggal 18 November 1945. Sayangnya, pada 1 Desember 1956, Hatta terpaksa mengundurkan diri dari jabatan yang diembannya. Hatta merasa tidak sejalan lagi dengan Soekarno dalam memimpin bangsa Indonesia. Meski demikian, hubungan persahabatan keduanya tampak baik-baik saja dan tidak ada permusuhan yang berarti diantara kedua. Hingga Soekarno wafat, Hatta masih tetap bersahabat. Hingga Hatta Wafat, Soekarno tidak pernah dihujat.

Kehadiran buku ini terasa tepat ketika bangsa ini melakukan refleksi terhadap pemikiran dan kehidupan Bung Hatta yang kewafatannya diperingati pada 14 Maret 2009 kemarin. Meski kurang lengkap, buku ini cukup jelas dalam menggambarkan perjuangan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta. Kebesaran nama dan gagasan-gagasan Bung Hatta mengingatkan pembaca untuk melanjutkan perjuangan itu.

Perjuangan tidak boleh selesai selagi kita tidak menginginkan Indonesia tenggelam diantara hiruk pikuk kemajuan zaman. [Sungatno/CABC]***